Urupedia – Al Quran adalah firman Tuhan yang berisi berbagai macam problematika kehidupan. Al Quran sebagai petunjuk memberikan solusi terhadap manusia untuk meghadapi masalahnya serta mengarahkan manusia pada satu cara hidup tertentu. Memang benar, Al Quran telah final cakupan ayatnya dan memiliki sistematika serta kerangka yang baku. Hal itu senada dengan firman Allah Swt. dalam surat Al Isra ayat 115;
وَتَمَّتْ كَلِمَتُ رَبِّكَ صِدْقًا وَعَدْلًا ۚ لَا مُبَدِّلَ لِكَلِمَاتِهِ ۚ وَهُوَ السَّمِيعُ الْعَلِيمُ
Artinya: Dan telah sempurna firman Tuhanmu (Al-Qur’an) dengan benar dan adil. Tidak ada yang dapat mengubah firman-Nya. Dan Dia Maha Mendengar, Maha Mengetahui. (QS. Al Isra: 115)
Akan tetapi kebutuhan umat manusia, khususnya kaum pemuda belum terpenuhi jika hanya dengan sistematisasi, percetakan dan pendistribusian. Terdapat kebutuhan mendasar yang harus terpenuhi, yakni menangkap pesan atau hikmah serta isi petunjuk dari Al Quran secara persis, terperinci dan komprehensif.[1]
Dengan adanya fungsi Al Quran sebagai petunjuk itulah yang membedakan Al Quran dengan filsafat , karena Al Quran adalah kitab yang menjelaskan dan dimudahkan untuk dipahami dan diingat. Sehingga feedback yang akan didapatkan oleh manusia dalam memahami isi petunjuk Al Quran adalah menyinari akalnya dan menggerakkan hatinya. Allah menurunkan Al Quran tiada lain agar makna-maknaya diserap dan rahasia-rahasianya diketahui oleh manusia.[2]
Salah satu isi penting yang dapat kita temukan dalam Al Quran adalah Allah menciptakan manusia supaya menjadi khalifah di bumi. Dari sinilah muncul pertanyaan bagaimana memajukan harkat dan martabat manusia dalam rangka mengemban khalifah di muka bumi ini? Suatu pertanyaan mendasar untuk kita sebagai manusia. Dalam hal ini tentu saja jawabannya tidak lain adalah kaum remaja atau pemuda yang akan meneruskan estafet di masa yang akan datang.
Sebagaimana ungkapan pepatah dalam bahasa arab :” Inna fi yadi al-syubban amr al-ummah, wa fi iqdamiha hayataha” yang artinya sesungguhnya pada tangan pemuda terletak urusan umat ini dan pada kemajuan mereka terletak hidupnya umat ini. Tak dapat dipungkiri memang kenyataan itulah yang sedang kita hadapi, terlepas dari berbagai masalah yang sedang ada di negeri tercinta ini. Pada dasarnya sebagaimana di dalam kamus mu’ajamul arab terdapat perbedaan yang cukup signifikan antara dua term pemuda dalam kata bahasa arab yaitu antara شاب dan فتى .
Penggunaan dan pemilihan kata sangat penting untuk kita telusuri guna mendapatkan kesesuaian makna yang tepat untuk kaum pemuda sehingga mereka dapat meresapi dan mengahayati serta merefleksikan apa yang termuat di dalam kata tersebut.
Kata فتى ternyata lebih kompleks maknaya daripada kata شاب, di dalam kata yang pertama mengandung arti bahwa pemuda yang permulaan masa remajanya di antara مراهقة (masa puber) dan رجولة (kedewasaan) sedangkan شاب artinya seseorang yang sudah baligh, akan tetapi belum mempunyai karakter kedewasaan. Oleh karena itulah Al Quran menggunakan kata fataa didalam beberapa ayatnya. Disinilah makna transendental dibutuhkan, untuk menginterpretasikannya dalam kehidupan manusia, khususnya bagi kaum remaja.
Makna transendental yang dimaksud adalah suatu kategori yang bersifat abstrak yang memiliki aspek kerohanian dan spiritual. Disadari atau tidak, secara alamiah manusia dalam tinjauan kasus ini remaja sentralnya mendekati apa yang baik dan menghindari apa yang buruk bagi mereka[3]. Telaah ini mengasumsikan integrasi gerak di masa yang akan datang, bagaimana pandangan Al Quran pada remaja dalam melihat kenyataan di era digital ini?
Solusi yang dianjurkan oleh Al Quran diantaranya ialah tafaqquh fiddin (bersungguh-sungguh di dalam agama). Suatu problema yang fundamental yang sedang di alami oleh kaum remaja. Arus globalisasi dan masyarakat agrikultur membuat para remaja seakan menganggap belajar agama sebagai suatu hal yang kolot dan kuno. Padahal di era serba digital ini, kekhawatiran muncul dengan banyaknya distorsi di dalam konten digital.
Dalam konteks ini, nabi sudah memprediksi dengan sabdanya yang berbunyi antum a’lamu bisyuuni dunyakum (kalian lebih tahu tentang urusan/perkara dunia kalian). Maka untuk mencegah pendistorsian di era digital ini perlu adanya spiritual dan mengaplikasikan makna transendental dalam tafaqquh fidin, yakni diimplementasikan dengan mengisi platform media sosial dengan ajaran Al Quran mengingat teknologi informasi telah berkembang pesat.
Hal ini penting untuk diimplementasikan mengingat kita sudah tidak hidup di era nabi yang mana para sahabat menghadapi musuh demi memperjuangkan agama. Maka tugas kita saat ini adalah bagaimana caranya agar Al Quran tetap eksis dan dilestarikan sampai hari kiamat nanti. Tentu saja meski tidak kita jaga dan lestarikan, Al Quran telah terjaga karena notabenenya ia adalah kalamullah. Namun sebagai generasi muslim yang bijaksana sudah sepatutnya kita menunaikan nilai-nilai yang ada pada Al Quran sehingga ia tak sebatas menjadi bacaan melainkan dijadikan pembentuk kepribadian. Sebagaimana firman Allah dalam QS. At Taubah ayat 122:
وَمَا كَانَ الْمُؤْمِنُوْنَ لِيَنْفِرُوْا كَاۤفَّةًۗ فَلَوْلَا نَفَرَ مِنْ كُلِّ فِرْقَةٍ مِّنْهُمْ طَاۤىِٕفَةٌ لِّيَتَفَقَّهُوْا فِى الدِّيْنِ وَلِيُنْذِرُوْا قَوْمَهُمْ اِذَا رَجَعُوْٓا اِلَيْهِمْ لَعَلَّهُمْ يَحْذَرُوْنَ ࣖ
Artinya: Dan tidak sepatutnya orang-orang mukmin itu semuanya pergi (ke medan perang). Mengapa sebagian dari setiap golongan di antara mereka tidak pergi untuk memperdalam pengetahuan agama mereka dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali, agar mereka dapat menjaga dirinya.
Dalam asbabun nuzulnya yang di jelaskan dalam kitab Tafsir Jalalain memaparkan bahwa sebetulnya semua masyarakat pada zaman nabi ingin berperang. Akan tetapi hal itu tidak dianjurkan dan seyogyanya ada suatu kelompok yang tetap tinggal. Mengingat adanya masyarakat Badui yang membutuhkan ilmu agama.
Menurut kaidah ulumul quran terdapat kaidah yang berbunyi al ibrah bikhusul lafdhi la biumumil lafdhi (ibrah dengan kehususan lafadz bukan keumuman lafadz). Dengan menggunakan kaidah tersebut sangat memungkinkan bila yang dimaksud kelompok tersebut adalah para cendekiawan dan sebagian golongan remaja. Atas dasar itu seberapa besar usaha kita sebagai kaum remaja dapat memantaskan diri untuk menjadi golongan tersebut dan mengupayakannya di era digital ini.
Referensi
- Asari, Hasan. 2020. Esai-Esai Religiositas Umat,edisi revisi.(Medan: Perdana Publihing)
- Qaradhawi, Yusuf. 2000. Bagaimana berinteraksi dengan Al Quran /Penerjemah: Kathur Suhardi, edisi Indonesia (Jakarta:Pustaka Al Kautsar)
- Jaya, Arie Sukma. 2020. Integrasi Gerak Transendeal-Mekanis Mengapa Gerak Ada,(Rasi Terbit)
Biodata penulis
Nama: Rohmat Yazid Nashiruddin
TTL: Pati, 12 Juni 1999
Alamat: Pati Jawa Tengah
Asal Instansi: Mahasiswa IQT IAIN KUDUS
Email: rohmatyazidn@gmail.com
[1] Hasan Asari, Esai-Esai Religiositas Umat,edisi revisi. (Medan: Perdana Publihing,2020) hal. 13
[2] Yusuf Al-Qaradhawi, Bagaimana berinteraksi dengan Al Quran /Penerjemah: Kathur Suhardi, edisi Indonesia, (Jakarta:Pustaka Al Kautsar,2000.)hal. 39-40
[3] Arie Sukma Jaya,Integrasi Gerak Transendeal-Mekanis Mengapa Gerak Ada,(Rasi Terbit:2020) hal..95
Editor: Ummi Ulfa