
Di dalam konteks Islam di Indonesia, khususnya dalam lingkungan pesantren Nahdlatul Ulama (NU), terdapat ketegangan yang sering kali tidak disadari antara feodalisme yang terideologisasi dan adab sebagai nilai yang paling dijunjung tinggi. Ketegangan ini muncul terutama saat hubungan antara kiai dan santri, guru dan murid, atau bahkan antara tokoh agama serta umat tidak lagi ditopang oleh nilai-nilai spiritual dan contoh akhlak, tetapi terikat pada struktur hierarki yang bersifat dominan.
Feodalisme Terideologisasi: Otoritas yang Diketatkan
Secara tradisional, feodalisme diartikan sebagai sistem sosial-politik yang berhierarki dengan kekakuan, di mana kekuasaan dipertahankan melalui warisan, loyalitas pribadi, dan dominasi simbolis. Dalam ranah agama, feodalisme bisa terideologisasi ketika hubungan antara pemimpin agama dan para pengikutnya tidak lagi berdasarkan keteladanan moral atau pembuktian ilmiah, melainkan pada kepatuhan yang absolut terhadap simbol-simbol otoritas. Feodalisme dalam bentuk ini dapat muncul dalam beberapa cara, seperti:
- Pengagungan (kultus) individu terhadap tokoh agama.
- Larangan untuk mengkritik atau mempertanyakan pendapat kiai atau ustaz.
- Pemanfaatan dalil agama untuk mempertahankan struktur kekuasaan yang tidak transparan.
Fenomena ini menggambarkan bagaimana nilai-nilai agama dipratikkan untuk membenarkan kekuasaan. Seorang kiai, sebagai contoh, dihormati tidak hanya karena pengetahuannya, tetapi juga dijadikan sosok sakral yang selalu dianggap benar, bahkan ketika terlibat dalam praktik yang problematis secara etika atau sosial. Dalam kondisi ekstrem, hal ini membawa kepada bentuk baru dari penundukan spiritual, di mana individu kehilangan kebebasan berpikir di bawah alasan adab.
Adab sebagai Unsur Aksiologis yang Utama
Akan tetapi, dalam ruang lingkup keilmuan Islam—secara khusus di lingkungan pesantren NU—adab memiliki kedudukan yang jauh lebih tinggi daripada sekadar kepatuhan simbolis. Dalam kerangka aksiologi (ilmu yang mempelajari nilai), adab merupakan dasar dari segala bentuk ilmu, bahkan mendahului pencarian pengetahuan itu sendiri.
Sebagaimana dinyatakan dalam tradisi ulama, “Adab qabla al-‘ilm” (adab sebelum ilmu). Ini bukan berarti santri harus menjalani kepatuhan secara buta terhadap otoritas guru, tetapi proses memperoleh ilmu harus didasari dengan penghormatan, keikhlasan, dan niat yang tulus. Adab, dalam konteks ini, bukan hanya tentang tata krama, melainkan mencakup kesadaran moral yang menempatkan hubungan antarmanusia dalam bingkai spiritual dan keadilan.
Adab adalah nilai aksiologis sebab ia menunjukkan arahan tentang bagaimana ilmu seharusnya dipelajari, bagaimana hubungan sosial seharusnya dibangun, dan bagaimana kekuasaan seharusnya dijalankan. Seorang kiai yang beradab tidak menuntut kepatuhan tanpa cela, tetapi memberikan teladan melalui uswatun hasanah—yakni contoh hidup yang nyata, bukan perintah yang membatasi pemikiran.
Uswatun Hasanah: Teladan dalam Perilaku
Konsep uswatun hasanah, yang bersumber dari Al-Qur’an (QS. Al-Ahzab: 21), menempatkan Nabi Muhammad SAW sebagai contoh ideal umat manusia dalam cara berpikir, berperilaku, dan memimpin. Dalam kerangka pesantren NU, konsep ini tidak hanya dipelajari secara akademis, tetapi juga diterapkan dalam praktik budaya.
Idealnya, seorang kiai di pesantren NU bukan sekadar penguasa ilmu, tetapi juga pembimbing spiritual yang hadir dengan kesederhanaan, konsistensi, dan kasih sayang. Keteladanan ini tidak dipaksakan melalui struktur, tetapi dilakukan dengan laku yang menyentuh hati para santri. Dalam hal ini, uswatun hasanah berfungsi sebagai cara untuk menyeimbangkan feodalisme yang menyamarkan dirinya sebagai adab.
Ada perbedaan yang mendasar antara kepatuhan karena rasa takut (feodalistik) dan kepatuhan yang didasari oleh kasih sayang (adab). Saat seorang santri mencium tangan kiai, itu bukan karena terpaksa, melainkan sebagai bentuk penghormatan yang muncul dari pemahaman tentang akhlak baik sang guru. Pada momen inilah adab menunjukkan bentuknya yang paling sejati.
Distingsi Kritis: Adab bukan Alat Kekuasaan
Sangat penting untuk diingat bahwa adab tidak seharusnya digunakan sebagai alat untuk membungkam kritik atau menekan pemikiran. Ketika seorang kiai mengungkapkan, “jangan melawan kiai, itu tidak beradab,” kita perlu mempertanyakan: apakah ini benar-benar adab, atau justru bentuk feodalisme yang terselubung?
Dalam tradisi keilmuan Islam yang sehat, memberikan kritik kepada guru tidak dianggap sebagai tindakan yang durhaka, melainkan sebagai bagian dari upaya mencari kebenaran. Imam Syafi’i pernah berbeda pandangan dengan gurunya, Imam Malik, tanpa mengurangi rasa hormatnya. Ini menunjukkan bahwa adab tidak berhubungan dengan ketaatan tanpa syarat, tetapi lebih kepada cara mengungkapkan perbedaan secara sopan dan berdasarkan pengetahuan.
Pesantren NU yang autentik justru mendorong adanya dialog, perdebatan, dan dinamika keilmuan yang berkembang, asalkan tetap dalam kerangka hormat dan adab. Hubungan antara santri dan kiai bersifat timbal balik, saling memberi dan menerima dalam suasana spiritual yang tulus.
Penutup: Membebaskan Adab dari Bayang-Bayang Feodalisme
Membedakan antara feodalisme yang diideologikan dan adab sebagai nilai tertinggi bukanlah sekadar masalah tafsir. Ini berkaitan dengan etika, struktur pengetahuan, dan arah masa depan pendidikan Islam di Indonesia. Sebagai benteng tradisi Islam Nusantara, pesantren NU harus terus melakukan kritik diri agar tidak terjerumus dalam pengudusan kekuasaan.
Uswatun hasanah perlu dihidupkan kembali, bukan sebagai lambang kekuasaan, tetapi sebagai prinsip hidup yang membebaskan: membebaskan ilmu dari dominasi, membebaskan santri dari rasa takut, dan membebaskan agama agar tidak dijadikan alat kekuasaan. Di sinilah adab menemukan arti sejatinya—sebagai jalan menuju individu yang merdeka dalam cara berpikir, perasaan, dan tindakan.









