
Urupedia.id- Jibril Menyampaikan Wahyu, Trans7 Menyampaikan Fakta.Ungkapan satir ini tampaknya sedang viral—menggambarkan seolah wahyu dan fakta berdiri dalam garis epistemologis yang sama: apakah keduanya menyampaikan “kebenaran”?.
Tetapi mari kita berhenti sejenak. Benarkah “framing media” (entah fakta ataupun opini) dapat disejajarkan dengan “wahyu ilahi”? Di sinilah kita perlu menakar ulang cara pandang masyarakat modern terhadap otoritas pengetahuan, terutama ketika kritik terhadap pesantren atau tradisi keagamaan disandarkan pada logika egalitarian yang kebablasan.
Adab, Egalitarianisme, dan Salah Kaprah Kesetaraan
Belakangan, adab khas pesantren—seperti santri yang ngesot ketika lewat di hadapan kiai—menjadi bahan olok-olok sebagian kalangan yang mengaku menjunjung prinsip egalitarian.
Bagi mereka, sikap itu dianggap bentuk feodalisme religius. Padahal, dalam pandangan Islam, semua manusia memang setara—yang membedakan hanyalah ketakwaan sebagaimana ditegaskan dalam QS al-Hujurat ayat 13.
Maka, jika Islam sudah sedemikian egaliter, mengapa penghormatan santri kepada guru justru dipersoalkan?
Kita hidup di zaman yang aneh. Di satu sisi, orang lantang menyerukan kesetaraan. Di sisi lain, mereka masih mengagungkan rupa “berwajah Korea” atau menundukkan diri di hadapan pemilik harta.
Ketika mentalitas masyarakat masih menilai martabat dari fisik dan materi, tidakkah ironis jika mereka memukul rata semua lini kehidupan dengan prinsip egalitarianisme yang dangkal?
Egalitarianisme bukan berarti menghapus hierarki moral dan sosial secara total. Dalam dunia jurnalistik, misalnya, prinsip kesetaraan diterapkan lewat penyebutan nama tanpa embel-embel sapaan “Bapak” atau “Ibu”.
Namun, apakah kita lantas harus menghapus panggilan penuh hormat kepada orang tua atau guru karena dianggap “kastanisasi”? Jika begitu, podium dan panggung dalam setiap acara pun harus dihapus, karena keduanya menandakan perbedaan posisi.
Kesetaraan yang ditafsirkan tanpa konteks justru kehilangan makna etiknya. Islam mengenal konsep adab dan di balik adab, selalu ada adat.
Tradisi seperti mencium tangan guru, menunduk ketika lewat di depan ulama, atau duduk sopan di majelis ilmu bukanlah bentuk penindasan, melainkan manifestasi etika sosial yang lahir dari rasa hormat.
Egalitarianisme Dalam Dunia Pendidikan Tidak Bisa Dipukul Rata
Dalam pendidikan, prinsip kesetaraan memang penting. Namun, menerapkannya secara kaku justru berpotensi menghancurkan struktur moral yang menjadi fondasi pembelajaran.
Seragam sekolah dibuat sama untuk menanamkan nilai kesetaraan ekonomi, tetapi bukan berarti hubungan guru dan murid harus “setara” dengan memakai seragam yang sama bukan? Di perguruan tinggi, mencium tangan dosen mungkin tak lazim, tetapi apakah pantas siswa SD dipaksa berlaku serupa dengan mahasiswa—hanya berjabat tangan tanpa mencium tangan gurunya?
Egalitarianisme yang menolak perbedaan secara total justru kehilangan keindahan sosialnya. Kita tidak sedang berbicara tentang dominasi, tetapi tentang penghormatan proporsional sesuai posisi dan konteks.
Tradisi Timur yang menekankan tata krama justru menjadi daya tarik bagi banyak orang Barat. Ironisnya, sebagian dari kita justru menelannya mentah-mentah sebagai simbol keterbelakangan.
Antara Penghambaan dan Perbudakan
Banyak juga yang mencibir santri karena “menghambakan diri” pada kiai. Padahal, konsep ‘ubudiyyah (penghambaan) dalam Islam justru bermakna luhur.
Seorang ‘abd (hamba) adalah makhluk yang sadar bahwa dirinya bergantung sepenuhnya pada yang dicintainya.
Maka, ketika seorang santri mencium tangan gurunya berkali-kali atau bahkan wolak-walik, itu bukan bentuk perbudakan, melainkan simbol cinta, penghormatan, dan kerendahan hati karena santri telah menggangtungkan hidupnya—minimal pendidikan keilmuan dan akhlaknya—kepada kiainya.
Jika melihat dengan sudut pandang yang lebih lebar, tradisi mencium tangan wolak-walik juga diamalkan oleh sebagian pasutri sebagai simbol tingginya rasa hormat dan sayang.
Kesalahan terbesar masyarakat modern adalah mencampuradukkan makna. “Budak” dan “hamba” dianggap sinonim, padahal dalam spiritualitas Islam, ‘abdullah (hamba Allah) justru adalah gelar kehormatan tertinggi.
Maka, menuduh pesantren sebagai lembaga perbudakan hanya menunjukkan dangkalnya pemahaman terhadap bahasa dan budaya, seperti halnya orang yang tidak mampu membedakan makna “aneh” dan “unik”.
Ketika Kritik Tak Lagi Ilmiah
Munculnya pernyataan “Jibril menyampaikan wahyu, Trans7 menyampaikan fakta” menggambarkan bagaimana sebagian orang kehilangan batas epistemik antara sakralitas dan sekularitas.
Dalam diskursus ilmiah, kita diajarkan untuk memilah antara teori dan praktik. Islam sebagai ajaran adalah “teori” wahyu yang bersumber dari Al-Qur’an dan Sunnah.
Sementara praktik umat Islam, termasuk kalangan pesantren, adalah interpretasi manusia yang tidak selalu sempurna.
Maka, kebejatan segelintir oknum pesantren tidak mengurangi nilai kebenaran ajarannya.
Dalam ranah ilmiah, bahkan pendosa tetap berhak berbicara sejauh argumennya bersandar pada rasionalitas dan data.
Karena itu, jika ingin menilai pesantren, gunakan metodologi ilmiah, bukan sekadar framing media yang bersandar pada emosi atau rating.
Pernyataan “Trans7 menyampaikan fakta” bisa saja benar secara teknis, tetapi tidak otomatis menjamin validitas epistemologisnya. Fakta media adalah konstruksi narasi, bukan wahyu yang bebas nilai.
Keterbatasan Framing Media
Setiap kamera memiliki bingkai; setiap bingkai membatasi pandangan. Media hanya menampilkan sebagian kecil dari realitas, dan publik sering kali lupa bahwa “fakta” yang mereka konsumsi telah melalui proses penyuntingan, framing, dan narasi yang subjektif.
Ibarat foto tembok pondok yang catnya terkelupas, publik fokus pada cela tanpa menyadari bahwa di balik frame itu ada “kawah candradimuka” tempat para santri ditempa menjadi manusia berilmu dan berakhlak.
Menilai pesantren hanya dari kasus oknum tanpa melihat kontribusi sosial dan spiritualnya sama saja dengan menilai matahari dari panasnya, tanpa mengakui cahaya yang ia berikan.
Kritik tentu boleh—tetapi harus proporsional dan berbasis data, bukan berdasarkan narasi sensasional yang dipoles agar “menjual”.
Epilog: Menilai dengan Keadilan, Bukan Emosi
Tidak ada yang menutup mata terhadap kekeliruan yang mungkin terjadi di lingkungan pesantren. Tetapi menilai seluruh sistem dari kesalahan sebagian oknum adalah bentuk ketidakadilan intelektual.
Kiai bukan nabi, tidak ma’shum, tetapi mereka telah menjadi murobbi—pendidik jiwa dan akhlak—bagi jutaan santri yang kini menjadi pilar bangsa.
Firman Allah menegaskan: “Barang siapa mengerjakan kebaikan seberat zarah, niscaya dia akan melihat (balasan)-nya. Dan barang siapa mengerjakan kejahatan seberat zarah, niscaya dia akan melihat (balasan)nya.” (QS Az-Zalzalah [99]:7–8).
Ayat ini mengajarkan keseimbangan dalam menilai: tidak menutup mata terhadap dosa, tetapi juga tidak membutakan diri terhadap jasa.
Maka, sebelum kita tergesa menuduh adab sebagai feodalisme atau pesantren sebagai perbudakan, barangkali perlu kita renungkan: siapa sesungguhnya yang kehilangan rasa hormat—mereka yang ngesot di hadapan gurunya, atau kita yang kehilangan adab dalam menyampaikan kritik dan pendapat?
Oleh: Hari Prasetia (Alumnus PP Haji Ya’qub dan PP Murottilil Qur’an Lirboyo)







