Opini

Krisis Air, Cermin Gagalnya Tata Kelola Lingkungan Kita

×

Krisis Air, Cermin Gagalnya Tata Kelola Lingkungan Kita

Sebarkan artikel ini
https://dlh.bulelengkab.go.id/informasi/detail/artikel/43_sulitnya-mencari-air-bersih-di-era-modern

Urupedia.id- Air merupakan sumber kehidupan utama bagi manusia. Namun, ironisnya, Indonesia yang dikenal sebagai negara maritim dengan curah hujan tinggi justru menghadapi krisis air bersih yang semakin nyata.

Berdasarkan laporan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB, 2025), sebanyak 314 kabupaten/kota di Indonesia telah mengalami kekeringan selama musim kemarau panjang tahun ini.

Pulau Jawa, yang menjadi pusat aktivitas industri dan urbanisasi, termasuk wilayah paling terdampak dengan penurunan ketersediaan air tanah hingga 40% dibandingkan satu dekade lalu.

Fenomena krisis air di Indonesia tidak hanya berkaitan dengan perubahan iklim global, tetapi juga menunjukkan lemahnya tata kelola sumber daya alam.

Urbanisasi yang tidak terkendali menyebabkan eksploitasi air tanah secara masif, terutama di wilayah perkotaan seperti Jakarta, Surabaya, dan Bandung.

Di sisi lain, perubahan iklim memperparah kondisi dengan meningkatnya suhu dan menurunnya curah hujan di beberapa daerah.

Kombinasi dua faktor ini menghasilkan water stress — kondisi di mana kebutuhan air jauh melebihi ketersediaannya. Menurut data dari Kementerian PUPR (2025), Indonesia berpotensi menghadapi defisit air sebesar 15 triliun liter pada tahun 2030 jika tidak ada kebijakan konservasi serius.

Fenomena ini dapat dijelaskan melalui teori masyarakat risiko yang dikemukakan oleh Ulrich Beck.

Beck menjelaskan bahwa modernitas membawa kemajuan sekaligus menciptakan risiko-risiko baru yang bersifat buatan manusia (manu- factured risk).

Krisis air yang dihadapi Indonesia bukan hanya akibat alam, tetapi hasil dari kebijakan pembangunan dan perilaku konsumtif manusia sendiri.

Modernisasi dan industrialisasi yang tidak diimbangi dengan kebijakan lingkungan berkelanjutan telah menimbulkan risiko ekologis yang memengaruhi generasi sekarang maupun mendatang.

Masyarakat modern, dalam konteks Beck, hidup di tengah ketidakpastian yang mereka ciptakan sendiri — dan krisis air adalah salah satu bentuk paling nyata dari kondisi itu (Beck, 1992).

Krisis ini juga relevan dijelaskan dengan perspektif komunikasi lingkungan, yang menyoroti pentingnya penyebaran informasi ekologis untuk membentuk kesadaran publik.

Menurut Herutomo dan Istiyanto (2021), media memiliki peran sentral dalam mengubah perilaku masyarakat terhadap isu lingkungan dengan cara menyampaikan pesan yang informatif, emosional, dan solutif.

Namun, realitasnya, isu krisis air masih kalah populer dibandingkan topik-topik hiburan di media massa maupun media sosial.

Padahal, peran komunikasi publik sangat penting untuk memperluas kesadaran kolektif bahwa air bukan hanya sumber daya, tetapi juga simbol keberlanjutan hidup.

Ketajaman persoalan ini terlihat jelas pada wilayah urban. Jakarta, misalnya, mengalami penurunan muka tanah hingga 7,5 cm per tahun akibat eksploitasi air tanah berlebihan (LIPI, 2024).

Kondisi ini diperparah oleh rendahnya kesadaran masyarakat terhadap penggunaan air yang efisien.

Hasil survei WALHI (2025) menunjukkan bahwa 61% masyarakat perkotaan belum memahami dampak dari penggunaan air tanah yang tidak terkontrol.

Di sinilah urgensi komunikasi publik perlu digalakkan. Pemerintah, akademisi, dan media harus bekerja sama menciptakan sistem komunikasi berbasis literasi lingkungan yang dapat menjangkau masyarakat luas.

Untuk mengatasi krisis air, dibutuhkan strategi komunikasi yang bersifat partisipatif.

Pertama, media perlu membangun kampanye publik yang berorientasi pada solusi, misalnya dengan mengangkat kisah sukses daerah yang menerapkan sistem rainwater harvesting (penampungan air hujan) atau program eco- village.

Kedua, pemerintah daerah harus memperkuat kolaborasi dengan perguruan tinggi dan komunitas lokal dalam membangun pesan edukatif berbasis data ilmiah.

Pesan yang disampaikan melalui media sosial harus dikemas dengan visualisasi menarik dan bahasa yang mudah dipahami generasi muda, karena mereka adalah kelompok yang paling aktif secara digital sekaligus paling terdampak di masa depan.

Lebih jauh lagi, pendekatan komunikasi lingkungan harus diarahkan untuk membentuk reflektivitas sosial — kesadaran bahwa setiap tindakan kecil, seperti membuang air, mencuci kendaraan, atau menebang pohon, memiliki konsekuensi ekologis jangka panjang.

Dalam konteks teori Beck, membangun kesadaran ini berarti mengubah masyarakat risiko menjadi masyarakat reflektif, yaitu masyarakat yang tidak hanya menyadari ancaman, tetapi juga aktif mengantisipasinya.

Krisis air bukan sekadar persoalan teknis, tetapi juga persoalan budaya dan komunikasi.

Jika kesadaran ekologis tidak ditanamkan sejak dini, maka masyarakat akan terus terjebak dalam siklus eksploitasi dan kelangkaan.

Media massa, kampus, dan lembaga pemerintah perlu berperan sebagai jembatan pengetahuan dan tindakan, memastikan bahwa pesan tentang pelestarian air dapat tersampaikan secara luas, konsisten, dan membangun perubahan perilaku nyata.

Oleh: Rifqy Fajar, Mahasiswa Universitas Negeri Malang.

Referensi

  • Beck, U. (1992). Risk Society: Towards a New Modernity. London: Sage Publications.
  • BNPB. (2025). Laporan Nasional Kekeringan dan Ketersediaan Air Bersih Tahun 2025. Jakarta.
  • Herutomo, C., & Istiyanto, S. B. (2021). Komunikasi Lingkungan dalam Mengembangkan Kelestarian Hutan. Wacana: Jurnal Ilmiah Ilmu Komunikasi, 20(1).
  • Kementerian PUPR. (2025). Proyeksi Kebutuhan dan Ketersediaan Air Nasional Tahun 2030. Jakarta.
  • LIPI. (2024). Penurunan Muka Tanah dan Krisis Air Tanah di Wilayah Metropolitan Indonesia. Bandung.
  • WALHI. (2025). Survei Perilaku Penggunaan Air Bersih di Kawasan Perkotaan. Jakarta.
Advertisements