
Urupedia.id- Organisasi dalam sejarah gerakan perempuan sering dipandang sebagai ruang kolektif yang diharapkan mampu memperjuangkan kesetaraan perempuan, membangun solidaritas, dan menjadi wadah perlawanan terhadap sistem patriarki. Namun, jika melihat dalam praktiknya, benarkah semua organisasi perempuan benar-benar membuka ruang pembebasan?
Sebagian justru mereproduksi nilai-nilai patriarki dengan wajah baru, sehingga menjelma menjadi ruang penjinakan. Di sinilah politik tubuh menjadi titik krusial untuk melihat bagaimana organisasi perempuan beroperasi: apakah ia benar-benar memperjuangkan tubuh perempuan sebagai subjek yang otonom, atau sebaliknya, menjadikan tubuh perempuan sebagai objek regulasi baru.
Konsep politik tubuh dalam kajian feminisme merujuk pada bagaimana tubuh perempuan tidak pernah netral, melainkan selalu diperebutkan, diatur, dan dimaknai oleh sistem sosial, budaya, agama, maupun negara.
Judith Butler dalam Gender Trouble (1990) menekankan bahwa tubuh adalah konstruksi sosial-politik: “The body is not a ‘being’ but a variable boundary, a surface whose permeability is politically regulated.” Artinya, tubuh perempuan bukan sekadar entitas biologis, melainkan hal yang senantiasa dikontrol secara politik dan sosial.
Di Indonesia, Gadis Arivia dalam ‘Filsafat Berperspektif Feminis’ (2003) menegaskan bahwa pengalaman tubuh perempuan tidak bisa dilepaskan dari relasi kuasa yang membentuk identitas mereka. Ia menyebutkan bahwa feminisme hadir untuk membongkar cara pandang yang mengabaikan tubuh perempuan sebagai subjek berpikir dan bertindak.
Hal ini memperlihatkan bahwa politik tubuh bukan isu abstrak, tetapi nyata dalam kehidupan sehari-hari perempuan Indonesia. Dengan demikian, tubuh perempuan adalah medan politik: tempat berlangsungnya tarik-menarik antara kuasa patriarki dan perlawanan feminis.
Organisasi perempuan seharusnya hadir sebagai ruang perlawanan membela otonomi tubuh perempuan, menolak segala bentuk pengekangan, dan memperjuangkan kebebasan perempuan untuk mendefinisikan dirinya sendiri. Akan tetapi, yang terjadi tidak selalu demikian.
Tidak bisa dipungkiri, banyak organisasi perempuan yang lahir dari rahim perlawanan. Sejak masa kolonial hingga era kontemporer, organisasi perempuan menjadi basis penting dalam memperjuangkan hak-hak politik, pendidikan, kesehatan, dan perlindungan perempuan dari kekerasan.
Misalnya, organisasi perempuan progresif di berbagai daerah telah berperan besar dalam advokasi Undang-Undang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga (UU PKDRT) maupun Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS). Mereka mengorganisir kampanye, melakukan pendampingan korban, dan melawan stigma sosial yang membungkam suara perempuan.
Dalam kerangka ini, organisasi perempuan benar-benar hadir sebagai ruang perlawanan. bell hooks dalam ‘Feminist Theory: From Margin to Center’ (1984) menegaskan bahwa: ‘Feminism is a movement to end sexism, sexist exploitation, and oppression.’ Hal tersebut mengingatkan kita bahwa gerakan perempuan seharusnya menghancurkan segala bentuk penindasan, bukan menciptakan pengekangan baru.
Namun, di sisi lain, ada organisasi perempuan yang justru beroperasi dengan cara mengekang. Alih-alih membebaskan, mereka mereproduksi wacana patriarki dengan kemasan baru. Politik tubuh yang seharusnya membebaskan, digiring untuk mengontrol.
Dalam konteks ini misalnya organisasi yang menekankan peran perempuan semata sebagai istri dan ibu, lalu menjadikan tubuh perempuan hanya sah ketika berfungsi dalam ranah domestik. Tubuh perempuan dibatasi oleh moralitas tertentu: bagaimana berpakaian, bagaimana berbicara, bahkan bagaimana mengekspresikan keinginan seksual.
Angela Davis dalam ‘Women, Race, & Class‘ (1981) menegaskan bahwa gerakan perempuan yang tidak peka terhadap kelas dan ras justru akan melanggengkan ketidakadilan baru: ‘When movements claim to speak for women as a whole, yet ignore race and class, they reproduce the very structures of domination they seek to dismantle.’ Kritik ini sejalan dengan realitas di Indonesia, di mana organisasi perempuan kadang hanya menyoroti isu kalangan elit, tetapi abai pada perempuan buruh, nelayan, atau pekerja migran.
Selain itu, Julia Suryakusuma dalam ‘State Ibuism’ (2011) menyoroti bagaimana negara melalui organisasi perempuan justru menundukkan perempuan dalam peran domestik dengan bungkus ideologi keluarga. Politik tubuh dalam kerangka ini diarahkan untuk melayani negara dan keluarga, bukan kebebasan perempuan.
Paradoks muncul ketika organisasi yang mengatasnamakan perempuan justru gagal merangkul semua perempuan. Solidaritas yang dibangun sering kali bersifat eksklusif: hanya mengakomodasi kelompok perempuan tertentu, sementara mengabaikan yang lain.
Chandra Talpade Mohanty dalam Feminism Without Borders (2003) mengingatkan kita bahwa organisasi perempuan yang menafikan keragaman justru akan mempersempit ruang solidaritas. Dalam konteks Indonesia, Sinta Nuriyah Wahid dalam berbagai gagasannya menekankan pentingnya membangun gerakan perempuan berbasis kesetaraan dan keberagaman.
Bagi Sinta, perjuangan perempuan tidak boleh hanya berhenti pada simbol solidaritas, tetapi harus menyentuh akar persoalan ketidakadilan di berbagai lapisan masyarakat. Pertanyaan pentingnya kemudian, bagaimana organisasi perempuan dapat benar-benar menjadi ruang perlawanan, bukan ruang penjinakan?
Pertama, organisasi perempuan harus berani melakukan kritik internal terhadap praktik eksklusif dan normatif yang mereka lakukan. Kedua, organisasi perempuan perlu menggeser fokus dari regulasi tubuh ke pembebasan tubuh.
Sylvia Tamale dalam ‘African Sexualities: A Reader’ (2011) menegaskan tubuh perempuan adalah milik perempuan itu sendiri, bukan alat kontrol sosial. Ketiga, penting untuk membangun solidaritas lintas batas, yang tidak hanya mengakomodasi perempuan elite, tetapi juga perempuan marginal.
Organisasi perempuan akan selalu berada di persimpangan antara ruang perlawanan dan ruang penjinakan. Ia bisa menjadi lokomotif pembebasan, tetapi juga bisa menjadi instrumen kontrol baru yang membatasi perempuan. Politik tubuh menjadi kunci untuk membaca arah ini: apakah tubuh perempuan diberi ruang untuk merdeka, atau justru direduksi menjadi objek regulasi.
Di sinilah tantangan utama gerakan feminis kontemporer di Indonesia: memastikan organisasi perempuan tidak terjebak pada romantisme solidaritas semu, tetapi benar-benar menghadirkan ruang aman, ruang kritis, dan ruang perlawanan bagi perempuan.






