EsaiSastra

Melek Politik dari Kemiskinan: Wejangan yang Membentuk Cara Pandang

×

Melek Politik dari Kemiskinan: Wejangan yang Membentuk Cara Pandang

Sebarkan artikel ini

Urupedia.id- Permainan baru saja dimulai. Permainan kata dan frasa selalu membuka ruang diskusi yang menarik. Politik dan agama, misalnya, kerap menjadi topik hangat ketika seorang bapak dalam keluarga kecil berdebat dengan lantang. Ia sering menyebut bahwa kebijakan pemerintah tidak masuk akal dan sulit berlaku untuk semua kalangan. Cara bicaranya menyerupai politisi dengan retorika rasional: pendapatnya terdengar masuk akal, bernilai universal, dan dapat diterima siapa saja. Anak-anak yang mendengar hanya bisa mengangguk, meski sebenarnya belum sepenuhnya memahami

Sejak kecil, anak-anak di rumah itu terbiasa mendengar diskusi panas tentang politik dan agama. Suara keras di ruang tamu terdengar seperti pertengkaran, tetapi sejatinya itulah kelas politik paling jujur. Sang bapak, seorang kutu buku tanpa ijazah tinggi, mampu mengutip berbagai pemikiran—kadang terdengar seperti Muhammadiyah, kadang seperti NU. Ia percaya bahwa berpikir kritis bukanlah monopoli kaum berpendidikan formal, melainkan hak semua manusia. Namun, realitas sosial menunjukkan sebaliknya: mereka yang tanpa gelar kerap dianggap tak punya legitimasi, betapapun tajam logikanya.

Keresahan terhadap kebijakan politik menjadi problem serius di keluarga miskin itu. Rutinitas sehari-hari berjalan sebagaimana umumnya masyarakat kecil, tetapi ada satu keistimewaan yang lahir dari keadaan ini: melek politik. Anak-anak tumbuh bukan hanya dengan nasi seadanya, melainkan juga dengan diskusi yang kadang lebih panas dari kompor di dapur. Suara keras di ruang tamu mungkin terdengar seperti pertengkaran, tetapi sesungguhnya itu adalah ruang belajar yang membentuk pola pikir kritis tanpa disadari.

Hari-hari terus bergulir. Kalender di dinding rumah sudah berkali-kali berganti. Sosok yang dahulu selalu menyediakan makan kini mulai tampak keriput. Orang yang dulu gemar membahas politik kini berjalan tertatih seperti balita belajar melangkah. Perubahan itu sulit dijelaskan hanya dengan kata-kata. Usia, kerja keras, dan tekanan hidup pelan-pelan merubah tubuhnya menjadi rapuh, namun kata-kata yang pernah ia ucapkan justru semakin kokoh dalam ingatan.

Latar belakang kemiskinan membuat pendidikan tinggi terasa seperti perjuangan yang menguras energi brutal. Bagi sebagian orang, kuliah hanyalah tiket masuk menuju pekerjaan bergaji tetap. Namun, bagi keluarga kecil ini, pendidikan tinggi lebih mirip pintu sempit yang harus ditembus dengan segala pengorbanan. Meski begitu, kondisi itu bukan alasan untuk berhenti belajar. Justru isu sosial, politik, agama, hingga filsafat alam semesta semakin dikejar. Pendidikan formal boleh terhenti di titik tertentu, tetapi pendidikan kehidupan tidak pernah berhenti. Membaca buku pinjaman, mendengar radio butut, hingga mencatat potongan artikel koran yang ditemukan di warung, semua menjadi bagian dari cara untuk bertahan di tengah keterbatasan.

Seiring waktu, wawasan bertambah. Analisis keadaan sekitar tumbuh bersama empati dan rasionalitas. Pergaulan dengan berbagai kalangan, dari yang sopan hingga yang nakal, membuat realitas terasa indah sekaligus kompleks. Dari tongkrongan jalanan sampai ruang diskusi akademik, ada satu benang merah: kehidupan selalu lebih rumit daripada teori. Buku memang memberi kerangka, tetapi kenyataan di lapangan memberi warna yang jauh lebih pekat

Proses menuju kedewasaan kemudian mengajarkan bahwa kebenaran tidak pernah tunggal. Ia selalu diperdebatkan, diperebutkan, bahkan dimanipulasi. Tan Malaka pernah berkata, “Idealisme adalah kemewahan terakhir yang hanya dimiliki pemuda.” Tetapi hari ini, idealisme sering dianggap beban. Banyak anak muda yang terjebak dalam gaya hidup instan dan aktivitas seremonial di media sosial, seakan slogan lebih penting daripada tindakan nyata. Berpikir kritis justru dipandang sebagai “penyakit” yang mengganggu kenyamanan kolektif.

Dalam dunia politik, agama, dan ruang publik yang penuh dengan janji-janji manis, masyarakat sering kali memilih diam. Skeptisisme tumbuh subur, seolah kebenaran hanyalah mitos yang tak bisa dipegang. Namun, di tengah kelesuan itu, wejangan sederhana seorang bapak tetap menjadi kompas moral. Kata-katanya yang dulu hanya terdengar seperti ocehan di meja makan, kini menjelma menjadi bekal menghadapi derasnya arus wacana.

Pada akhirnya, wejangan dari kemiskinan itu mengajarkan bahwa menjadi manusia berarti berani berpikir, bukan sekadar ikut arus. Politik tidak boleh hanya dipandang sebagai permainan elite, melainkan sebagai ruang di mana akal sehat diuji. Agama pun tidak sebatas surga dan neraka, melainkan sarana menjaga nurani. Kesadaran politik yang lahir dari keterbatasan inilah yang membuat manusia tetap waras, tetap kritis, dan tetap percaya bahwa meski keadaan sering tidak berpihak, selalu ada pilihan: tunduk pada kebodohan, atau bertahan dengan kesadaran.

Zulkarnain Nggiu, Mahasiswa sekaligus penulis yang tertarik pada isu sosial, kopi, dan seni
Advertisements