Berita

Kekerasan dalam Tubuh Polisi: Potret Brutalitas Polisi Indonesia

×

Kekerasan dalam Tubuh Polisi: Potret Brutalitas Polisi Indonesia

Sebarkan artikel ini
Mobil Brimob yang melindas korban AK.

Jakarta 28 Agustus 2025- Kekerasan fatal oleh aparat kepolisian terhadap warga sipil di Indonesia terus berulang. Kali ini menimpa korban berinisial AK yang ditindas Mobil Brimob, korban yang berseragam ojek online dalam kericuhan usai demonstrasi di depan Gedung DPR/MPR. Insiden tersebut terjadi di area depan Rumah Susun Bendungan Hilir (Rusun Benhil) II. Korban meninggal dunia di RS PELNI.

Komnas HAM mencatat, dalam semester I 2023 Polri menempati posisi teratas pihak teradu pelanggaran HAM dengan 405 aduan, 61,7% di antaranya terkait kekerasan dan penyiksaan. Fakta ini menegaskan, masalah bukan sekadar “oknum” melainkan persoalan struktural dan budaya impunitas.

Kasus-kasus terbaru menguatkan pola tersebut:

  • Yeremias Magai (Nabire, 2024) – tewas setelah diduga disiksa dengan martil dan setrum listrik saat interogasi.
  • RF (Ketapang, 2024) – meninggal dalam tahanan, jasadnya penuh memar meski polisi berdalih korban “sesak napas”.
  • Desa Wadas (Purworejo, 2022) – 67 warga ditangkap, banyak luka-luka akibat pengamanan paksa tambang andesit untuk proyek Bendungan Bener.
  • Tragedi Kanjuruhan (Malang, 1 Oktober 2022) – gas air mata ditembakkan polisi ke tribun tertutup, menyebabkan 135 orang tewas dan lebih dari 600 luka-luka. Hingga kini, banyak pihak menilai proses hukum terhadap aparat tidak setimpal dengan besarnya korban.
  • Aksi #PeringatanDarurat (2023) – Amnesty mencatat 344 demonstran ditangkap, 152 luka, 17 alami dampak gas air mata akibat tindakan represif aparat.
  • Brigadir AK (Katingan, 2024) – membunuh warga sipil lalu membuang mayat bersama rekannya; kasus ini menunjukkan pengawasan internal yang rapuh.

Pola serupa berulang: kekerasan dalam interogasi, penggunaan kekuatan berlebihan dalam konflik sosial, hingga tindakan kriminal aparat di luar tugas. Semua menyingkap kegagalan reformasi Polri pasca-1998.

Narasi “oknum” atau “polisi sebagai korban” sering digunakan untuk mengaburkan fakta kekerasan aparat. Namun, ketika warga sipil justru menjadi korban institusi yang seharusnya melindungi, maka legitimasi negara hukum ikut runtuh.

Koalisi masyarakat sipil menuntut reformasi menyeluruh: revisi UU Kepolisian dan KUHAP, pembentukan tim independen di bawah Presiden, hingga perubahan doktrin dan pendidikan Polri agar beralih dari mentalitas “penghukum” menjadi “pelindung rakyat”.

Tanpa langkah radikal ini, demokrasi Indonesia akan terus tercoreng, karena keadilan gagal dirasakan oleh mereka yang paling berhak: rakyat kecil.

Sumber: Komnas HAM, Amnesty International, ICJR, ELSAM, Tapol, Detik.com.

Advertisements