
Urupedia.id- Konflik antara Perjuangan Walisongo Indonesia Laskar Sabilillah (PWI LS) dan Front Pembela Islam (FPI) di Pemalang, Jawa Tengah, pada 22 Juli 2025, sekilas tampak sebagai kericuhan massa biasa. Namun, jika ditelaah lebih dalam, bentrokan itu bukan hanya soal batu dan kayu yang beterbangan, melainkan tentang benturan cara berpikir yang berakar pada konstruksi sosial-historis masing-masing kelompok.
Karl Mannheim, dalam karyanya Ideology and Utopia, memberikan lensa tajam untuk memahami peristiwa ini. Mannheim menekankan bahwa setiap gagasan tidak lahir dari ruang kosong, melainkan diproduksi oleh konteks sosial. Dari kerangka ini, PWI LS dapat dipahami sebagai representasi ideologi, sedangkan FPI sebagai manifestasi utopia.
PWI LS mengusung misi menjaga tradisi Walisongo, kiai Nusantara, dan nilai Pancasila. Mereka berusaha melestarikan tatanan sosial yang ada, menjadikan diri sebagai penjaga harmoni antara Islam Nusantara dan nasionalisme. Sebaliknya, FPI tampil sebagai kekuatan utopis, dengan visi membangun Nizam Islami yang mereka anggap solusi atas kegagalan sistem sekuler. Bentrokan soal nasab Ba’Alwi pun, sejatinya, bukan sekadar polemik genealogis, melainkan perebutan legitimasi epistemik dan otoritas spiritual.
Negara, melalui aparat dan pemerintah daerah, tampil sebagai penengah, berusaha meredam gejolak dengan bahasa ideologis Pancasila. NU pun menempuh jalur damai. Namun, media yang idealnya berperan sebagai freischwebende intelligenz (intelektual bebas) justru sering gagal melampaui bias, sehingga alih-alih mencerahkan publik, malah memperkeruh ruang wacana.
Dari kacamata Mannheim, benturan ini mencerminkan dialektika sosial yang klasik: ideologi melawan utopia. Namun pelajaran pentingnya bukanlah memilih siapa yang benar, melainkan bagaimana bangsa ini mengelola perbedaan. Indonesia membutuhkan intelektual bebas yang mampu menghadirkan sintesis, negara yang berperan sebagai mediator adil, serta masyarakat yang melek literasi agar tidak mudah terjebak dalam polarisasi.
Bentrokan Pemalang hanyalah satu fragmen. Namun jika dibiarkan tanpa pembelajaran, fragmen ini bisa berkembang menjadi mozaik konflik yang merusak persatuan. Saatnya kita membaca konflik bukan sekadar sebagai “bentrokan fisik,” tetapi sebagai pertarungan gagasan yang harus dikelola dengan dialog, kebijakan inklusif, dan literasi publik yang kuat.
Konflik sebagai Cermin Krisis Epistemologis
Peristiwa Pemalang mengingatkan kita bahwa instabilitas sosial tidak hanya dipicu oleh faktor ekonomi atau politik, tetapi juga oleh benturan epistemologis—perbedaan mendasar tentang cara memahami realitas. FPI, dengan basis sosial yang merasa terpinggirkan dan kecewa terhadap sistem, menemukan pelarian pada utopia puritan. PWI LS, sebaliknya, menjadi benteng ideologi nasional yang khawatir akan tergesernya tradisi Islam Nusantara dan Pancasila.
Sengketa nasab yang tampak remeh menjadi simbol dari perebutan legitimasi pengetahuan. Siapa yang berhak menafsirkan kebenaran? Siapa yang memiliki otoritas spiritual? Pertanyaan ini menegaskan bahwa konflik kita seringkali lebih dalam daripada sekadar “bentrokan massa.”
Negara, NU, dan Media: Penengah atau Bagian dari Masalah?
Dalam teori Mannheim, negara cenderung berperan sebagai penjaga ideologi. Hal itu terlihat dari langkah pemerintah daerah, Kodim, dan Polres yang berupaya meredam kekerasan dan menjaga stabilitas. NU pun menyerukan perdamaian, menegaskan perannya sebagai kekuatan ideologis dominan yang lebih memilih dialog ketimbang bentrokan. Namun, peran ini tidak cukup bila hanya meredam permukaan tanpa menyentuh akar epistemologis.
Media, yang semestinya berfungsi sebagai Freischwebende Intelligenz (intelektual bebas), justru sering kali gagal. Alih-alih menjadi penengah objektif, pemberitaan kerap terjebak dalam framing yang bias dan memperkeruh polarisasi. Hal ini memperlihatkan lemahnya kapasitas jurnalisme untuk membangun sintesis politik yang mencerahkan.
Refleksi dan Jalan ke Depan
Peristiwa Pemalang adalah cermin betapa rapuhnya sintesis kebangsaan kita ketika menghadapi benturan epistemologis. Ia memperlihatkan bahwa demokrasi bukan hanya soal prosedur politik, tetapi juga soal bagaimana masyarakat mengelola perbedaan cara berpikir yang fundamental.
Dari sini, terdapat beberapa refleksi penting. Pertama, perlu dibangun kelas intelektual yang benar-benar independen, baik di kalangan akademisi maupun jurnalis, yang dapat berfungsi sebagai Freischwebende Intelligenz sejati. Kedua, negara tidak boleh hanya menjadi pemadam kebakaran, tetapi juga fasilitator dialog mendalam antara ideologi dan utopia. Ketiga, literasi publik harus ditingkatkan agar masyarakat tidak mudah terperangkap dalam propaganda utopis maupun bias ideologis yang menutup ruang diskursus rasional.
Dengan demikian, konflik PWI LS–FPI bukan sekadar “kasus lokal Pemalang,” tetapi potret dialektika abadi dalam masyarakat: antara mereka yang ingin mempertahankan tatanan, dan mereka yang ingin merombaknya. Tugas kita bukan menyingkirkan salah satunya, tetapi mencari jalan tengah yang adil, reflektif, dan beradab.
Daftar Pustaka
- Hamka. (2020). Sosiologi Pengetahuan: Telaah atas Pemikiran Karl Mannheim. Neliti.
- Mannheim, K. (1936). Ideology and Utopia. London: Routledge.
- Kompas.com. (2025, Juli 23). Apa Itu PWI LS? Ormas yang Bentrok dengan FPI di Pemalang.
- Tirto.id. (2025, Juli 23). Kronologi Bentrok PWI LS dan FPI di Pemalang: 15 Korban Luka.
- VOI.id. (2025, Juli 24). Bentrok PWI LS vs FPI: Agama Bukan Alat Legitimasi Kekuasaan atau Dominasi Kelompok.
- YouTube. (2025, Juli 22). Ternyata Ini Pemicu Bentrokan FPI Vs PWI-LS saat Pengajian Habib Rizieq di Pemalang.






