
Urupedia.id- Bagi masyarakat Indonesia, khususnya Jawa, wayang kulit adalah salah satu tradisi yang tidak asing lagi. Wayang kulit merupakan produk lokal yang dimiliki oleh masyarakat Jawa.
Sejak zaman dahulu wayang kulit menjadi hiburan yang diadakan masyarakat Jawa, baik itu memperingati hari besar, pernikaan maupun perayaan yang lainnya.
Wayang kulit biasanya menceritakan mengenai kebudayaan, keagamaan, percintaan. Itupun juga melihat perayaan yang diadakan oleh masyarakat.
Tradisi wayang kulit sendiri mengandung makna yang unik baik makna secara tersurat maupun tersirat, tergantung konteks yang dibawakan.
Istilah wayang berasal dari kata “Ma Hyang” yang artinya menuju kepada roh spiritual, dewa atau Tuhan yang maha Esa. Dari istilah Jawa wayang diartikan sebagai “bayangan” (Purwanto, 2018).
Hal ini dikarenakan penonton wayang hanya melihat dari bayangannya saja. Karena dalang memainkan wayang-nya biasanya dibalik tirai.
Dalang dalam dunia pewayangan diartikan sebagai seseorang yang mempunyai keahlian khusus yang memainkan boneka wayang (Yuflih, 2015).
Bakat seorang dalang tidak dimiliki oleh orang secara umum. Keahlian ini biasanya diperoleh dari bakat turun-temurun dari leluhurnya atau diwarisi oleh orangtuanya.
Dari segi sejarahnya, wayang tumbuh dan berkembang pada masyarakat Jawa sejak zaman prasejarah.
Seiring berjalannya waktu, wayang juga dikenal, dimiliki, dan dikembangkan oleh berbagai etnis dari daerah lain. Catatan awal yang didapat tentang pertunjukan wayang berasal dari prasasti balitung pada abad ke-10 yang diciptakan oleh raja Balitung dari dinasti Sanjaya.
Jauh sebelum agama Islam masuk dan berkembang di Indonesia. Wayang sudah dikenal sejak zaman nenek moyang dan menjadi sebuah warisan yang berharga untuk masyarakat jawa (Nurgiyantoro, 2011).
Dengan melekatnya tradisi wayang yang ada dimasyarakat Jawa, wayang tidak hanya digunakan untuk pertunjukan saja. Melainkan digunakan sebagai sarana dakwah untuk menyebarkan agama Islam.
Wayang digunakan untuk berdakwah terjadi pada zaman walinsongo yang menyebarkan agama Islam di Jawa, misalnya Sunan Kalijaga, menggunakan wayang kulit sebagai media dakwahnya.
Sunan Kalijaga menyebarkan agama Islam dengan menggunakan media wayang dikarenakan masyarakat jawa masih kental dengan budaya orang Jawa. Mereka meleburkan agama dengan budaya yang sudah menjadi tradisi sehingga masyarakat jawa pada saat itu banyak yang suka dan masuk agama Islam yang dibawakan oleh Sunan Kalijaga.
Saat perkembangan Islam di Indonesia yang dibawakan oleh wali songo menggunakan wayang sebagai media dakwahnya. Pertunjukan wayang di Indonesia juga masih menjadi tradisi turun temurun, apalagi sekarang sudah mencapai zaman modern.
Banyak pertunjukan wayang yang sudah memperpadukan pewayangan tradisional dengan dikemas menggunakan teknologi yang ada pada zaman sekarang.
Dalang juga harus mempersiapkan diri supaya cerita yang dibawakan saat pertunjukan, bisa menghibur masyarakat yang menyaksikan.
Selain untuk hiburan, pertunjukan wayang memiliki banyak makna filosofis maupun pesan terkandung. Terdapat berbagai kisah pagelaran wayang yang mengandung makna dan pesan yang terkandung serta dapat di refleksikan dan dipelajari oleh orang yang mendengarkan kisah pagelaran wayang.
Seringkali makna yang dibawa dalam pagelaran wayang seperti pesan moral, kebijaksanaan, pengabdian, dan kebenaran.
Hingga Saat ini, pertunjukan wayang masih menjadi tradisi yang berharga bagi masyarakat Indonesia, khususnya Jawa.
Pertunjukan wayang kulit tak hanya menjadi hiburan, tapi juga sarana penyebaran agama Islam, sebagaimana yang dilakukan Walisongo, seperti Sunan Kalijaga, yang memanfaatkan wayang sebagai media dakwahnya.
Seiring perkembangan zaman, wayang terus beradaptasi dan dikemas menggunakan teknologi modern untuk tetap relevan dan menarik bagi masyarakat. Meskipun begitu, wayang tetap berfungsi sebagai media dakwah dengan berbagai nilai yang terkandung di dalamnya.
Pertunjukan wayang mengandung banyak makna filosofis, moral, dan pesan yang dapat direfleksikan serta dipelajari oleh penontonnya. Makna-makna ini seringkali meliputi pesan moral, kebijaksanaan, pengabdian, dan kebenaran. Nilai-nilai ini sangat relevan dengan ajaran agama Islam, yang mengajarkan kebaikan, etika, dan kebenaran.
Dalam konteks dakwah kontemporer, seorang dalang dapat menggunakan cerita wayang untuk menyampaikan pesan-pesan Islam secara halus dan mudah diterima oleh masyarakat.
Kisah-kisah yang dibawakan tidak hanya menghibur, tetapi juga menyisipkan ajaran-ajaran moral, seperti pentingnya bersikap adil, jujur, sabar, dan saling mengasihi.
Dalam dakwah kontemporer, dalang berperan sebagai penyampai pesan yang membungkus ajaran agama dengan budaya lokal. Dengan bakatnya, dalang bisa memadukan pewayangan tradisional dengan teknologi modern, seperti penggunaan visual dan audio yang lebih menarik, untuk menjangkau audiens yang lebih luas, termasuk generasi muda.
Penyampaian dakwah melalui wayang bisa menjadi lebih efektif karena tidak terasa menggurui. Masyarakat, terutama di Jawa, sudah terbiasa dan akrab dengan wayang kulit, sehingga pesan-pesan yang disampaikan melalui media ini lebih mudah diserap dan menjadi bagian dari tradisi mereka sehari-hari. Contohnya, dalang bisa menceritakan kembali kisah-kisah tokoh wayang dengan sudut pandang yang menekankan pada nilai-nilai Islam, seperti cerita tentang perjuangan kebaikan melawan kejahatan, yang dapat diinterpretasikan sebagai jihad melawan hawa nafsu.
Dengan terus berkembangnya teknologi dan kreativitas, wayang kulit tetap menjadi media yang efektif untuk menyebarkan nilai-nilai luhur dan ajaran agama Islam di era modern. Hal ini membuktikan bahwa tradisi dapat beradaptasi dan tetap relevan tanpa kehilangan esensinya.






