
Urupedia.id- Perselisihan mengenai tambang di Raja Ampat, Papua Barat Daya, telah menimbulkan ketegangan antara dua kekuatan moral dalam masyarakat Indonesia: organisasi keagamaan, khususnya Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), dan aktivis lingkungan. Ketegangan ini timbul setelah PBNU menyampaikan dukungan terhadap investasi pertambangan di area tersebut, yang dianggap dapat memberikan manfaat ekonomi bagi masyarakat setempat. Namun, pernyataan tersebut segera mendapatkan tanggapan tegas dari aktivis lingkungan yang berpendapat bahwa pembukaan tambang akan merusak ekosistem laut dan hutan yang merupakan kekayaan hayati dunia.
Kondisi ini menimbulkan pertanyaan mendasar: bagaimana mengintegrasikan kepentingan ekonomi, kelestarian lingkungan, dan nilai-nilai etika agama dalam satu keselarasan? Tulisan ini bertujuan untuk menganalisis isu ini dari sudut pandang ilmiah dan reflektif, tanpa menunjukkan keberpihakan yang ekstrem terhadap salah satu sisi.
Raja Ampat dan Kerentanan Kekayaan Ekologisnya
Raja Ampat bukan hanya sekadar wilayah administratif, melainkan juga kumpulan tempat yang sangat indah yang berfungsi sebagai rumah bagi lebih dari 1. 500 jenis ikan dan 540 jenis karang, menjadikannya salah satu lokasi dengan keanekaragaman hayati laut yang paling tinggi di dunia (CI Indonesia, 2020).
Daerah ini juga merupakan tempat bagi komunitas adat yang memiliki ikatan spiritual dengan tanah dan laut. Setiap bentuk eksploitasi di area ini memberikan dampak tidak hanya pada aspek ekologis, tetapi juga pada aspek kultural dan spiritual.
Dalam konteks ini, diskusi mengenai pertambangan—yang diajukan melalui PT Kawei Sejahtera Mining.—menimbulkan kekhawatiran. Aktivis mengungkapkan bahwa eksploitasi tambang nikel di Pulau Kawe masuk wilayah sensitif (konservasi laut dan hutan), dan izin tambang telah menimbulkan penolakan masyarakat adat dan aktivis ekologis. Adanya tambang tersebut ditakutkan akan menyebabkan kerusakan lingkungan yang tidak bisa diperbaiki (WALHI Papua Barat, 2024).
Dukungan PBNU terhadap investasi di sektor pertambangan di Raja Ampat tidak dapat dipahami secara sederhana atau tegas. Dalam sejumlah pernyataan, Ketua Umum PBNU, KH Yahya Cholil Staquf, menekankan bahwa dukungan tersebut tidak hanya tertuju pada kegiatan pertambangan, melainkan juga pada prinsip “kemaslahatan” yang dapat diraih oleh masyarakat apabila aktivitas ekonomi dikelola dengan cara yang adil dan berkelanjutan (NU Online, 2024).
Argumen PBNU dapat diambil dari prinsip maqāṣid al-sharī‘ah, yang merupakan tujuan-tujuan dari syariat Islam untuk melindungi agama, jiwa, pikiran, keturunan, dan harta. Dalam interpretasi progresif, pengelolaan sumber daya alam untuk kesejahteraan sosial dapat dibenarkan selama tidak melanggar prinsip keadilan dan tidak menyebabkan kerusakan (fasād) (Auda, 2008). Namun, masalah yang muncul adalah ketika kegiatan tambang menyebabkan maḍarat yang jauh lebih besar dibandingkan maṣlahat-nya, maka pembenaran syar’i menjadi tidak berlaku.
Pejuang Lingkungan dan Prinsip Antar Generasi
Aktivis lingkungan berdiri dengan tegas pada prinsip keadilan lingkungan dan keberlanjutan untuk generasi mendatang. Dalam konteks teori etika lingkungan, sebagaimana diuraikan oleh Aldo Leopold (1949) dalam Land Ethic, alam seharusnya tidak sekadar dianggap sebagai objek untuk dieksploitasi, melainkan sebagai komunitas moral di mana manusia merupakan salah satu anggotanya. Kerusakan lingkungan saat ini adalah suatu bentuk penolakan terhadap hak generasi mendatang untuk hidup di planet yang sehat.
Pandangan ini juga didukung oleh kerangka kerja deep ecology yang dikembangkan oleh Arne Naess (1973), yang mengedepankan kesetaraan antara manusia dan lingkungan. Dalam konteks Raja Ampat, aktivisme lingkungan tidak sekadar merupakan gerakan “hijau,” melainkan merupakan cerminan etika mengenai hubungan manusia dengan lingkungan sekitarnya. Pemanfaatan sumber daya di area yang berperan sebagai paru-paru laut global jelas mengancam prinsip-prinsip dasar tersebut.
Konflik antara Keyakinan Agama dan Lingkungan Hidup
Polemik ini mencerminkan adanya kekurangan komunikasi antara dua ranah moral yang seharusnya saling mendukung: agama dan lingkungan. Agama, dalam konteks ini Islam yang dianut oleh Nahdlatul Ulama, tidak menentang upaya pelestarian lingkungan. Banyak ayat dalam Al-Qur’an mengajak untuk melindungi lingkungan, seperti yang terdapat dalam
وَلَا تُفْسِدُوْا فِى الْاَرْضِ بَعْدَ اِصْلَاحِهَا وَادْعُوْهُ خَوْفًا وَّطَمَعًاۗ اِنَّ رَحْمَتَ اللّٰهِ قَرِيْبٌ مِّنَ الْمُحْسِنِيْنَ ٥٦
Artinya: “Janganlah kamu berbuat kerusakan di bumi setelah diatur dengan baik. Berdoalah kepada-Nya dengan rasa takut dan penuh harap. Sesungguhnya rahmat Allah sangat dekat dengan orang-orang yang berbuat baik.” (QS. Al-A’raf: 56)
Akan tetapi, dalam praktiknya, seringkali kita melihat bahwa penjelasan agama dapat digunakan untuk mendukung kepentingan ekonomi—meskipun hal itu bertentangan dengan prinsip-prinsip ekologi.
Ini menunjukkan adanya ketegangan pengetahuan antara logika developmentalisme dan ekologisme. Dalam tradisi filsafat kritis, perbedaan ini diperlukan untuk dimediasi oleh etika reflektif, yaitu kesadaran untuk memahami kembali motif-motif struktural dan kepentingan yang tersembunyi di balik narasi “kesejahteraan masyarakat” atau “keadilan ekologis” (Habermas, 1984).
Pendekatan Moderat dan Jalan Tengah
Untuk mengatasi perbedaan ekstrem antara “mendukung tambang” dan “menolak total,” Indonesia membutuhkan pendekatan teologi lingkungan, yaitu gabungan antara spiritualitas keagamaan dan kesadaran terhadap lingkungan. Para pemimpin agama tidak hanya dapat mengandalkan prinsip maqāṣid, tetapi juga harus memasukkan dimensi ekosentris dalam ajaran yang mereka sampaikan.
Demikian juga, para aktivis lingkungan harus menciptakan peluang untuk berdialog, bukan hanya melakukan demonisasi. Kadang-kadang, cara aktivisme yang terkesan elit dan simbolis tidak mampu menjangkau pemahaman ekonomi komunitas adat yang juga memerlukan listrik, air bersih, dan akses ke layanan dasar. Solusi yang tepat adalah ekonomi ekologis, yang menjadikan masyarakat lokal sebagai aktor utama, bukan hanya sebagai objek dalam kebijakan.
Langkah yang tepat adalah mendukung program pembangunan yang berbasis konservasi, seperti ekowisata, pemanfaatan jasa lingkungan, serta pertanian ekologis yang lebih berkelanjutan, rendah konflik, dan memberikan manfaat nyata bagi masyarakat. Dalam konteks ini, organisasi keagamaan seperti PBNU dapat berfungsi sebagai penghubung dalam etika publik, bukan hanya sebagai advokat investasi.
Polemik mengenai tambang di Raja Ampat menunjukkan bahwa masalah sumber daya alam tidak hanya berkaitan dengan izin atau logam berharga, tetapi juga melibatkan nilai-nilai: antara maqāṣid dan konservasi, antara manfaat dan kerusakan, serta antara narasi agama dan keadilan ekologis. Jalan tengah tidak berarti tidak memiliki pendirian, tetapi berarti dengan bijaksana memilih pihak yang akan didukung. Dalam era krisis iklim dan kerusakan lingkungan, setiap tindakan eksploitasi perlu disertai dengan pemikiran moral yang serius.
Referensi
- Auda, J. 2008. Maqasid al-Shariah sebagai Filosofi Hukum Islam: Pendekatan Sistematis. London: IIIT.
- CI Indonesia. (2020). Kekayaan Laut Raja Ampat. Conservation International Indonesia. Retrieved from https://www.conservation.org/id/places/raja-ampat
- Habermas, J. (1984). The Theory of Communicative Action, Vol. 1: Reason and the Rationalization of Society. Boston: Beacon Press.
- Leopold, A. (1949). A Sand County Almanac. New York: Oxford University Press.
- Naess, A. (1973). The Shallow and the Deep, Long-Range Ecology Movement: A Summary. Inquiry, 16(1–4), 95–100.
- NU Online. (2024). PBNU: Tambang Harus Berkeadilan dan Tidak Merusak Lingkungan. Retrieved from https://www.nu.or.id/
- WALHI Papua Barat. (2024). Kritik WALHI terhadap Tambang di Pulau Kawe, Raja Ampat. Retrieved from https://www.walhi.or.id/