Esai

Aku yang Platonis, Aku yang Tragis

×

Aku yang Platonis, Aku yang Tragis

Sebarkan artikel ini

Urupedia-Masih teringat hangat, suatu peristiwa filosofis kala kami nyantri di Pondok Kajian Filsafat dan Teologi Tulungagung. Siang itu, kebiasaan absurd calon filsuf, seperti biasa, bangun siang. Ketika mereka ditanya, mengapa kalian bangun siang?, jawab mereka, “Descartes, guru rasionalisme mengamalkan syariat ini hingga membuat ia mampu menulis risalah Discourse and Method”. Memang unik, seperti itulah kami, dididik untuk membaca, berwacana dan dialog sampai tak kenal waktu.

Namun, siang itu terjadi suatu anomali, ada satu anak yang tertidur di kamar tengah, yang biasanya dipakai salat. Salah satu senior dengan tegas membangunkan anak itu dan menyeretnya keluar tepat di teras rumah. Ia berkata “bukalah matamu, lihat! Itulah realitas, jangan ngorok terus di Gua-nya Plato!” Sontak kami tertegur, suatu hal sepele terjadi. Kami ditidurkan oleh mimpi-mimpi gaib idea, realitas semua yang kami kreasikan sendiri, tetapi saat peristiwa itu terjadi, kami mafhum. Desacartes memang benar, tapi guru Plato lebih, lebih dan sangat lebih benar.

Plato dan Gua Ide-nya
Risalah tentang Gua Ide adalah cerita lama, banyak para filsuf menuturkan perkara ini di ruang akademik, warung kopi maupun mimbar jalanan. Sederhananya, Gua Ide adalah aporisma tentang pembalikan perspektif dan kesadaran kita atas dunia. Plato menuturkan, dalam versi saya:

Terdapat beberapa manusia yang terkurung di sebuah Gua, mereka bisa di bilang “budak” atau orang yang “terkekang”. Mereka duduk bersama menghadap sebuah tembok. Tembok itu datar, suatu waktu ada simbol dan gambaran visual, ada wujud hewan, ada bangunan, ada manusia yang tampak berjalan, ada pohon dan ada berbagai citraan yang berwarna hitam. Mereka, para budak meyakini itulah realitas, kenyataan sejati.

Syahdan, ada satu budak yang membelot untuk curiga atas citraan yang mereka lihat bersama. Kecurigaan ontologis itu terjadi atas dasar satu pertanyaan sederhana: apakah benar ini adalah realitas?, saking skeptisnya, ia memutuskan untuk berlari mencari jalan keluar dari Gua itu, ia susuri berbagai lorong hingga sampailah ia di depan pintu penuh cahaya, cahaya yang amat terang. Kelopak matanya mengamati sebuah wujud asli dari dunia, tampak pepohonan asli, hewan asli dan berbagai objek fisik yang asli, ia tertegun lesu, ia menggigil ketakutan dan memilih kembali. Kembali mempercayai citraan palsu dari realitas yang ia yakini dari awal.

Padahal, kita tau, apa yang mereka lihat hanyalah pantulan bayangan dari tanah liat yang diterangi lentera, berjejer digerakkan oleh tangan-tangan astral yang “mungkin” kita sebut sebagai Tuhan, atau causa prima.

Manusia dan Makna
Dari satu risalah sederhana ini, semuanya terbaca jelas. Plato sejatinya memberi kita wahyu untuk bisa menyaring pengetahuan akan dunia. Dunia bukanlah fisik belaka, ia terbungkus oleh hal-hal lain. Plato membedakan dua unsur realitas, pertama, ada “matter” atau “wujud realitas” dan yang kedua, ada “idea” atau “konsep”. Plato menyadari, idea bukanlah konsepi pikiran manusia belaka, idea adalah yang ideal, idea meresap dalam konsepsi manusia untuk diartikulasi atau diejawantahkan kedalam dunia realitas, idea selalu sempurna dan paripurna.

Lain hal, realitas adalah manifestasi dari alam atau dunia idea, ambillah contoh: kita membuat konsepsi atas kursi, kursi terbaik bagi Plato bukanlah wujud fisik-konkret yang ada di dunia, melainkan terjebak di dalam konsepsi idea. Pertahanan epistemik ini terjadi dalam upaya menjernihkan kesadaran manusia, bahwa manipulasi dari realitas bisa menipu, bisa rusak dan hancur. Akhirnya, kerennya Plato di sini, sebagai guru kebatinan juga, keyakinan kita pada “sesuatu” yang sempurna harus didahulukan daripada terjebak pada kenyataan pahit atas dunia ini.

Seperti contoh Gua tadi, para budak itu terjebak pada konsepsi dan akhirnya mengimaninya sebagai realitas. Kita mungkin pernah dan pasti pernah pada posisi mereka. Plato mengajarkan manusia untuk lebih bisa menyaring makna, itu yang kutahu. Makna bertebaran dari refleksi kita atas realitas dan ide. Nyatanya, kita hidup dalam rimba simulasi yang sama seperti Gua itu, sederhana: kekayaan diukur dari simbol Apel kroak, angka saldo dijadikan legitimasi kekayaan, baju atau gadget dari brand terbaru adalah wahyu paling ambigu. Kita semua seperti itu. Intinya, pilah-pilahlah semua hal secara sadar.

Tulungagung, 10-08-2022

Penulis : Qowim Sabilillah

Editor : Ummi Ulfatus Sy