Esai

Ketika “Baik-Baik Saja” Menjadi Topeng: Urgensi Bicara Kesehatan Mental di Era Digital

×

Ketika “Baik-Baik Saja” Menjadi Topeng: Urgensi Bicara Kesehatan Mental di Era Digital

Sebarkan artikel ini


Di tengah hiruk pikuk kehidupan modern, ada satu frasa yang sering kita dengar, bahkan mungkin kita ucapkan sendiri: “Baik-baik saja.” Kalimat pendek ini, seolah menjadi mantra penenang, seringkali kita gunakan untuk menutupi badai di dalam diri. Sebuah topeng yang kita kenakan, menyembunyikan kecemasan yang berdenyut, kelelahan yang menusuk, atau depresi yang diam-diam menggerogoti. Isu kesehatan mental, yang dulu kerap dianggap tabu dan disimpan rapat-rapat, kini perlahan menemukan ruangnya di ranah publik, terutama di era digital ini. Namun, apakah kita sudah cukup membuka diri? Atau justru kita masih terjebak dalam pusaran stigma yang sama?

Coba tengok pagi Anda. Mungkin diawali dengan mengecek lini masa media sosial. Di sana, kita disuguhkan rentetan cerita kebahagiaan sempurna: liburan mewah, karier gemilang, keluarga harmonis, atau pencapaian fantastis. Tanpa sadar, kita mulai membandingkan hidup kita dengan sorotan indah itu. Perbandingan tanpa henti ini, ditambah standar kecantikan dan kesuksesan yang seringkali tidak realistis, adalah bom waktu bagi kesehatan mental kita. Belum lagi fenomena FOMO (Fear of Missing Out), di mana kita merasa cemas ketinggalan hal-hal seru yang dilakukan orang lain, padahal mungkin itu hanya permukaan.


Tekanan tidak hanya datang dari media sosial. Tuntutan pekerjaan yang makin tinggi, persaingan akademik yang ketat, atau bahkan masalah pribadi yang kian kompleks, semua berkontribusi pada beban psikologis. Kita didorong untuk selalu produktif, selalu positif, dan selalu “baik-baik saja”, seolah ada hukuman bagi mereka yang menunjukkan kelemahan. Bahkan di Tulungagung sekalipun, dengan keindahan alam dan ketenangan yang ditawarkannya, tekanan hidup modern ini tetap terasa. Pernahkah Anda melihat seorang teman tiba-tiba jadi pendiam, atau mungkin lebih sering melamun saat nongkrong di kafe dekat Alun-Alun? Bisa jadi itu bukan sekadar lelah biasa.


Data bukan sekadar angka kosong. Kementerian Kesehatan mencatat bahwa lebih dari 15 juta penduduk Indonesia mengalami gangguan jiwa. Ini bukan hanya deretan digit; ini adalah potret nyata dari jutaan orang yang diam-diam berjuang, menderita dalam kesunyian, dan kerap terabaikan karena kurangnya pemahaman dan dukungan. Angka ini seharusnya menjadi alarm keras bagi kita semua.

Stigma: Musuh Tak Kasat Mata yang Membelenggu



Musuh terbesar dalam penanganan isu kesehatan mental adalah stigma. Anggapan bahwa “orang yang berobat ke psikolog atau psikiater itu gila” masih sangat kental di masyarakat kita. Konsekuensinya fatal: banyak individu yang seharusnya mencari pertolongan profesional justru enggan melangkah. Mereka takut dicap, dihakimi, dikucilkan, atau bahkan kehilangan pekerjaan. Mereka memilih memendam, sampai akhirnya masalah itu membesar dan lebih sulit diatasi.


Stigma ini diperparah oleh minimnya edukasi. Sebagian besar dari kita belum memahami bahwa kesehatan mental adalah bagian integral dari kesehatan secara keseluruhan. Sama seperti kita perlu menjaga kesehatan jantung, paru-paru, atau lambung, kita juga perlu merawat pikiran dan emosi kita. Sakit kepala yang terus-menerus bisa jadi indikasi kelelahan mental, bukan cuma kurang tidur. Kecemasan berlebihan bisa jadi tanda gangguan panik, bukan sekadar sifat pemalu. Kita tidak akan menunda berobat saat demam tinggi, lantas mengapa kita menunda mencari bantuan saat pikiran kita terasa kalut?

Membuka Ruang, Mengikis Stigma: Peran Kita dan Media


Di sinilah peran media, termasuk platform Urupedia, menjadi sangat krusial. Bukan hanya sekadar menyajikan berita viral, tetapi juga sebagai agen perubahan yang mampu mengikis stigma dan menyebarkan kesadaran. Dengan gaya penulisan yang humanis, mudah dicerna, dan dekat dengan pembaca, Urupedia memiliki potensi besar untuk selalu membangun narasi inklusif dan Kita butuh lebih banyak kisah nyata tentang perjuangan dan keberhasilan individu dalam mengatasi masalah kesehatan mental.

Urupedia, dapat membantu pembaca merasa tidak sendiri, memberikan validasi, dan menumbuhkan harapan bahwa pemulihan itu mungkin. Ini adalah cerminan bahwa “tidak baik-baik saja” itu manusiawi.

Urupedia bisa menjadi sumber informasi yang akurat dan berbasis ilmiah tentang berbagai kondisi kesehatan mental. Melalui artikel atau infografis, kita bisa meluruskan kesalahpahaman, menepis mitos yang beredar di masyarakat (misalnya, depresi bukan sekadar “kurang iman”), dan menjelaskan gejala-gejala yang perlu diwaspadai.

Yang tak kalah penting adalah edukasi tentang pentingnya konsultasi dengan psikolog atau psikiater. Urupedia bisa menjelaskan bagaimana prosesnya, apa yang diharapkan, dan mengapa itu bukanlah tanda kelemahan. Menyediakan informasi tentang akses layanan kesehatan mental yang terjangkau, termasuk pemanfaatan BPJS untuk layanan psikologis, bisa sangat membantu.

Sebagai platform yang menjangkau jutaan orang, Urupedia juga bisa menyoroti pentingnya kebijakan publik yang mendukung kesehatan mental. Misalnya, advokasi untuk program edukasi kesehatan mental di sekolah sejak dini, atau pengembangan layanan konseling di tempat kerja.

Saatnya Jujur dan Peduli: Membangun Masyarakat yang Lebih Sehat


Sudah saatnya kita berhenti memakai topeng “baik-baik saja” jika memang tidak demikian. Sudah saatnya kita lebih peka terhadap diri sendiri dan orang-orang di sekitar kita. Dengarkan hati kecil Anda, dan perhatikan perubahan pada teman atau anggota keluarga. Kadang, secangkir kopi dan telinga yang mau mendengarkan sudah sangat berarti. Kesehatan mental bukanlah tanda kelemahan, melainkan bagian dari pengalaman manusia yang universal. Setiap orang bisa mengalaminya, tanpa memandang usia, status sosial, atau latar belakang. Membuka diri untuk membicarakan kesehatan mental adalah langkah awal menuju pemulihan dan penerimaan. Ini bukan hanya tentang menyelamatkan individu, tetapi juga membangun masyarakat yang lebih sehat, lebih empatik, dan lebih berdaya.


Mari bersama-sama menciptakan ruang aman di mana setiap orang merasa nyaman untuk berkata, “Saya tidak baik-baik saja, dan itu tidak apa-apa.” Karena di balik kejujuran itu, ada harapan untuk kesembuhan dan kebahagiaan yang sesungguhnya.

Advertisements
Index