Opini

Jedor yang Sunyi: Refleksi atas Dakwah Kultural di Tengah Era Digital

×

Jedor yang Sunyi: Refleksi atas Dakwah Kultural di Tengah Era Digital

Sebarkan artikel ini


Urupedia.id- Di tengah gelombang deras perkembangan dunia digital, kita semakin jarang mendengar suara yang dulu begitu akrab di telinga masyarakat Tulungagung: tabuhan jedor.

Dulu, jedor bukan sekadar alat musik tradisional. Ia adalah suara Islam, suara kampung, dan simbol kebersamaan. Kini, suara itu pelan-pelan menghilang, terkikis oleh waktu dan tergantikan oleh konten cepat saji.

Pertanyaannya: masih bisakah jedor bicara tentang dakwah hari ini?
Bagi yang belum familiar, jedor adalah kesenian tradisional dari Tulungagung, Jawa Timur. Sebuah pertunjukan musik Islami yang memadukan alat-alat sederhana seperti rebana, bedug kecil, dan ketipung.

Namun yang membedakannya, setiap irama jedor diiringi oleh sholawat, doa, dan pesan-pesan moral. Bayangkan, berdakwah sambil bernyanyi, namun tetap dalam suasana khusyuk dan merakyat.

Budaya sebagai Medium Dakwah: Perspektif Teoretis


Dalam konteks teori komunikasi budaya, jedor dapat dibaca sebagai sebuah bentuk komunikasi simbolik yang sarat makna. Clifford Geertz (1973) dalam karyanya The Interpretation of Cultures menyatakan bahwa budaya adalah sistem simbol yang memberikan makna pada kehidupan sosial. Jedor—dengan bunyi, irama, dan pesan religiusnya—adalah ekspresi konkret dari Islam lokal yang membumi, bukan sekadar diturunkan dari teks, tetapi dijalani melalui praktik budaya sehari-hari.

Selain itu, dakwah melalui jedor dapat dikaji lewat lensa dakwah kultural (cultural da’wah). Teori ini menekankan bahwa penyebaran nilai-nilai keislaman tidak selalu harus berlangsung dalam bentuk ceramah atau khutbah formal. Budaya dapat menjadi saluran efektif untuk menyampaikan pesan-pesan Islam secara kontekstual, seperti yang dikembangkan oleh para Walisongo dahulu—memadukan dakwah dengan kesenian, pertunjukan, bahkan humor (Azra, 2002).


Dalam konteks ini, jedor bukan sekadar tradisi atau hiburan. Ia adalah medium dakwah yang berakar pada kehidupan masyarakat. Ketika tradisi ini mulai terpinggirkan, maka yang hilang bukan cuma seni, melainkan juga cara bertutur keislaman yang inklusif dan penuh kasih.

Pergeseran Paradigma Komunikasi Dakwah


Masuknya media sosial sebagai bagian dari realitas kehidupan sehari-hari telah menggeser pola komunikasi, termasuk dalam hal keagamaan. Perhari ini komunikasi dakwah ditentukan oleh algoritma.

TikTok, Instagram, dan YouTube telah menjadi ruang dakwah baru. Namun, dalam logika media digital, pesan keagamaan harus dikemas singkat, menarik, dan mudah viral. Di sinilah konflik nilai muncul: jedor, sebagai dakwah yang membutuhkan waktu, penghayatan, dan komunitas, menjadi kalah pamor dibanding konten religius instan yang bombastis.
Jedor berhadapan dengan budaya kecepatan dan visualisasi ekstrem.

Ironisnya, metode dakwah yang lembut dan penuh pesan justru dianggap “kuno” karena tidak cukup trending. Padahal, dalam dunia yang bising oleh ujaran kebencian atas nama agama, jedor justru menawarkan gaya dakwah yang lembut, tidak menggurui, dan mengedepankan spiritualitas estetis.

Krisis Regenerasi dan Tantangan Transmisi Budaya


Bapak Karyusi, pelestari jedor dari Desa Babadan, pernah berkata: “Dulu anak-anak muda rebutan ikut latihan jedor. Sekarang, yang minat bisa dihitung jari.” Pernyataan ini menandakan adanya krisis regenerasi dalam transmisi budaya lokal. Secara sosiologis, ini menunjukkan lemahnya modal kultural (Bourdieu, 1986) yang diwariskan antar generasi.


Di tengah arus globalisasi dan homogenisasi budaya, anak muda lebih terpapar pada budaya populer luar ketimbang khazanah lokalnya sendiri. Penyebabnya bukan semata-mata sikap acuh generasi muda, melainkan juga absennya upaya serius dari lembaga pendidikan, pemerintah daerah, dan tokoh masyarakat untuk menghadirkan tradisi seperti jedor dalam konteks baru yang relevan.

Jalan Kultural Menuju Islam yang Membumi


Jedor sesungguhnya adalah jembatan antara Islam dan budaya lokal. Ia mengingatkan kita bahwa Islam di Nusantara tidak datang dengan pedang, tetapi dengan irama, tembang, dan kebersamaan. Ini sesuai dengan gagasan Nurcholish Madjid (1992) tentang Islam sebagai rahmat kultural, yang tidak menolak budaya lokal, melainkan mengislamisasinya dengan cara yang dialogis dan manusiawi.


Oleh karena itu, menyelamatkan jedor adalah menyelamatkan jalan kultural dakwah. Tapi penyelamatan itu tidak cukup dengan nostalgia. Ia harus adaptif dan kreatif. Kenapa tidak menjadikan jedor sebagai konten audio-visual yang menyatu dengan TikTok dakwah? Kenapa tidak menjadikannya ekstrakurikuler wajib di pesantren atau sekolah berbasis Islam? Bahkan, festival jedor lintas pesantren bisa jadi strategi revitalisasi budaya sekaligus ruang bertukar narasi Islam yang damai.

Penutup: Suara yang Tak Boleh Mati


Jika jedor benar-benar hilang, maka kita kehilangan bukan cuma alat musik atau pertunjukan seni. Kita kehilangan satu cara dakwah yang lembut, penuh cinta, dan dekat dengan rakyat. Kita kehilangan wajah Islam yang membumi.

Pilihan kini ada di tangan kita. Mau membiarkan jedor mati dalam sunyi, atau bergerak bersama menyelamatkan satu bentuk keindahan Islam yang nyaris lenyap? Kita tidak harus jadi seniman atau ulama untuk peduli. Cukup dengan memotret, menulis, membuat video pendek, atau sekadar membagikan kisah jedor di media sosial, kita telah mengambil bagian dalam gerakan kecil menyelamatkan tradisi besar.

Karena jika suara jedor mati, maka ikut mati juga cara indah menyuarakan Islam tanpa kemarahan—hanya lewat nada, sholawat, dan cinta.

Daftar Pustaka

  • Azra, A. (2002). Islam Substantif: Fondasi Masyarakat Madani, Demokrasi, dan Pluralisme. Jakarta: Mizan.
  • Bourdieu, P. (1986). The forms of capital. In Richardson, J. (Ed.), Handbook of Theory and Research for the Sociology of Education. New York: Greenwood.
  • Geertz, C. (1973). The Interpretation of Cultures. New York: Basic Books.
  • Madjid, N. (1992). Islam, Doktrin dan Peradaban. Jakarta: Yayasan Paramadina
  • Auliya, A. A., Octavia, A. D., Ardiana, I. A., & Shodiq, M. (2024). Industrialisasi Kesenian Jaranan sebagai Produk Kearifan Lokal Indonesia. Edu Aksara: Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, 3(2), 6-22.
  • Dewi, S. O. (2017). Sedulur Papat [Deskripsi Tugas Akhir Karya Seni]. Institut Seni Indonesia Surakarta.
  • Janah, D. L. N., Puriamandawati, N. A., & Putri, F. S. E. (2024). Eksistensi Tari Reog Kendang Tulungagung Sebagai Tradisi Kearifan Lokal. Atmosfer: Jurnal Pendidikan, Bahasa, Sastra, Seni, Budaya, dan Sosial Humaniora, 2(2), 259-282.
  • Nabillah, G., Junaedi, J., & Fatoni, U. (2025). Motivasi Penggunaan Kesenian Tradisional Dalam Dakwah Islam. Tabligh: Jurnal Komunikasi dan Penyiaran Islam, 10(1), 55-78.
  • Saputra, A. D. (2020). Kesenian Islam Jemblung di Kabupaten Kediri. Qurthuba: The Journal of History and Islamic Civilization, 3(1), 142-164.
  • Wawancara dengan Bapak Karyusi pelestari kesenian Jedor di Desa Babadan, Kecamatan Karangrejo, Tulungagung. Hari Jum’at tanggal 06 Juni 2025.

.

Advertisements
Index