Mozaik

Menghilangkan Demam Panggung dengan Tawasul

×

Menghilangkan Demam Panggung dengan Tawasul

Sebarkan artikel ini

Urupedia Setiap saya mau mengisi suatu materi, entah itu perkuliahan atau acara apapun pasti mengalami “demam panggung”, namanya juga belajaran (kata orang Jawa). Saya yakin semua orang juga pernah merasakan hal yang sama.

Belajaran itu adalah seseorang yang masih pada tahap terus mencari ilmu, belum merasa puas akan ilmu yang telah dimiliki. Ilmu=pengetahuan=maka dia (penulis) merasa perlu terus untuk belajar, karena memang pada hakikatnya saya dan kita hanya sebagai manusia biasa yang masih terbatas ilmu pengetahuannya, dan senantiasa perlu untuk belajar hingga akhir hayat tiba.

Kita sebagai seorang hamba, diperintahkan untuk terus belajar, karena ini sesuai dengan bunyi:

طلب العلم فريضةعلى كل مسلم 

“Menuntut ilmu hukumnya wajib bagi setiap muslim”

اُطْلُبُوا العِلْمَ مِنَ المَهْدِ إِلى اللَّحْدِ

“Tuntutlah ilmu dari buaian (lahir) hingga liang lahat”

Pada saat mengalami demam panggung, saya selalu teringat dengan ibu saya, bagaimana beliau dengan tekunnya mencari rezeki untuk menghidupi saya dan mensejahterakan saya. Saya juga teringat akan usaha bapak saya, bagaimana beliau berjuang mengayuh sepeda untuk mengantarkan anaknya daftar sekolah dikarenakan anaknya satu ini dulunya pemalu dan tidak percaya diri di depan umum.

Lantas, bagaimana saya bisa mengecewakan beliau semua? Lalu, bagaimana cara saya mengatasi demam panggung pada diri saya?

Istri saya pernah berucap “Yen ndredeg, ora pede, njenengan kirim fatihah, tawasul marang muallif kitab, marang tiyang sepuh, lan marang Kanjeng Nabi Muhammad Saw,” (Jika deg-degan, tidak percaya diri, kamu kirimkan fatihah, tawasul kepada pengarang kitab, kepada orang tua, dan kepada Nabi Muhammad Saw) tidak lain dan tidak bukan tujuan mengirimkan fatihah dan tawasul ini agar dipermudah dalam menyampaikan materi dan membawa barokah bagi yang hadirin semua.

Ternyata benar saja, sebab apa yang dikatakan istri saya ini tidak ada salahnya. Karena ini merupakan ilmu laku, ilmu yang diambil dari apa yang dicontohkan guru-gurunya, begitu juga guru saya. Di setiap guru saya akan membacakan sebuah kitab atau menyampaikan suatu materi, maka beliau-beliau mengirimkan fatihah terlebih dahulu untuk muallif (Pengarang sebuah kitab, red), guru maupun orang tua. Maka, inilah jalan amaliyah yang saya tempuh sebelum menyampaikan suatu materi pada khalayak semua.

……….يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوا اتَّقُوا اللّٰهَ وَابْتَغُوْٓا اِلَيْهِ الْوَسِيْلَةَ

Wahai orang-orang yang beriman! Bertakwalah kepada Allah dan carilah wasilah (jalan/perantara),” (QS. Al-Maidah: 35)

Bertawassul dengan perantara berdoa melalui orang saleh (seperti Nabi Muhammad SAW, guru, pengarang kitab, orang tua, wali) sesungguhnya diperbolehkan, sebab tidak ada larangan bahkan dianjurkan.

Mengutip salah satu pendapat dari Sayyid Muhammad bin Alwi Al-Maliki menjelaskan bahwa pada intinya tawasul adalah boleh, sebab esensi tawasul atau mengirim fatihah sejatinya juga memohon kepada Allah Swt. (Lihat Sayyid Muhammad bin Alwi bin Abbas Al-Hasani Al-Maliki, “Mafahim Yajibu an Tushahhah, Surabaya, Haiatus Shafwah Al-Malikiyyah, tanpa catatan tahun, halaman 124-125).

Maklum saja istri saya berucap seperti halnya di atas, sebab ia lekat dengan dunia pesantren dalam kehidupannya. Di pesantren, kita diajarkan tentang berbagai adab, adab murid terhadap guru, adab terhadap ilmu, dan adab lainnya.

Amaliyah mengirimkan fatihah itu salah satu bentuk penghormatan kita sebagai seorang pembelajar terhadap guru maupun ilmu yang sedang dipelajari. Benar saja, ketika sudah bertawasul, perasaan terasa lebih adem, tenang, damai sebab semua sudah dipasrahkan pada Tuhan.

Bagian kita untuk berusaha sudah ditunaikan, urusan hasilnya nanti serahkan pada Tuhan. Ini adalah catatan untuk diri penulis khususnya dan pembaca pada umumnya. Dan untuk mengisi acara Center of Economics, Law and Humanist Studies (Celhs) perdana dengan tema “Gus Dur, Kemanusiaan dan Indonesia” semoga bisa berjalan dengan lancar, khidmat dan penuh berkah. Kemudian untuk guru penulis, juga guru kita semua, semoga kita mendapatkan kemuliaan dan keberkahan ilmunya, amin.

Wonosari (Timur), Bengkalis, 6 Juni 2022/6 Zulkaidah 1443 H.

Penulis: Muhamad Ajip

Editor: Munawir Muslih

Foto Muhamad Aji Purwanto, Penulis merupakan Dosen STAIN Bengkalis, dan Alumnus UIN Sayyid Ali Rahmatullah