Opini

Islam dan Realitas Digital: Menjaga Spiritualitas dalam Kepungan Kecerdasan Buatan

×

Islam dan Realitas Digital: Menjaga Spiritualitas dalam Kepungan Kecerdasan Buatan

Sebarkan artikel ini

Kita hidup dalam zaman di mana realitas tak lagi hanya berbentuk fisik. Kehidupan manusia hari ini mengalami pergeseran besar—bukan hanya karena perkembangan teknologi, tetapi karena manusia mulai membangun kehidupannya dalam ruang digital yang sepenuhnya maya, namun berdampak nyata. Identitas, kebenaran, bahkan nilai-nilai agama kini ditafsir ulang di jagat siber, yang sayangnya, sering kali lebih gaduh daripada jernih.

Revolusi Industri 4.0 yang berbasis digitalisasi sudah lewat, kini dunia memasuki babak baru: Revolusi Industri 5.0—era ketika manusia dituntut tidak hanya cakap teknologi, tetapi juga bijak dalam mengelolanya. Sayangnya, tidak semua masyarakat siap menghadapinya. Apalagi, umat Islam yang hari ini masih berkutat pada dikotomi lama: antara teks suci dan konteks sosial, antara tradisi dan teknologi.

Agama dan Kecanggihan yang Tak Terkendali

Teknologi kecerdasan buatan (AI) seperti ChatGPT, MidJourney, atau Gemini telah menjadi bagian dari kehidupan harian. Menurut laporan McKinsey Global Institute (2023), lebih dari 75% perusahaan global telah mulai mengintegrasikan AI dalam rantai produksi mereka. Namun, AI bukan sekadar alat. Ia membentuk ulang cara kita berpikir, merespons, dan bahkan mempercayai sesuatu. Hoaks, disinformasi, manipulasi opini publik, hingga deepfake adalah efek samping dari kecanggihan yang tidak disertai etika.

Sebagaimana dikatakan Untung Rahardja (2022) dalam kajiannya di Technomedia Journal, AI memunculkan “estimasi ancaman” terhadap moralitas manusia. Ia tidak memiliki empati, tidak mengenal nilai-nilai, dan tak memiliki nalar etik kecuali yang diprogramkan manusia. Maka, pertanyaannya: di mana posisi agama, khususnya Islam, dalam menghadapi situasi ini?

Islam Ramah Digital: Spirit Nilai, Bukan Literalitas

Islam adalah agama rahmatan lil alamin—pesan moralnya ditujukan untuk seluruh alam semesta. Maka sudah seharusnya Islam tidak eksklusif dari perkembangan zaman. Tantangannya adalah bagaimana nilai-nilai Islam seperti keadilan, kejujuran, dan kasih sayang tetap hidup dalam dunia digital yang banal dan instan.

Sayangnya, sebagaimana dikritik Wildani Hefni (2020) dalam jurnal Bimas Islam, pemahaman umat Islam terhadap moderasi beragama belum menyentuh wilayah digital. Islam seringkali dipertontonkan dalam bentuk konten potong-potong yang viral, tapi kehilangan kedalaman teologis. Ayat-ayat disebarkan tanpa konteks. Fatwa disulap jadi meme. Polemik lebih ramai dari perenungan.

Di sinilah pentingnya moderasi digital beragama. Nilai-nilai seperti tawasuth (jalan tengah), i’tidal (berkeadilan), dan tawazun (seimbang) perlu masuk ke dalam praktik etika digital: tidak menyebar hoaks, tidak gampang mengkafirkan, dan tidak menjadikan media sosial sebagai alat perang ideologi.

Pluralisme Digital dan Krisis Tafsir

Hari ini, siapa pun bisa menjadi “ulama” di TikTok. Platform seperti YouTube dan Instagram dipenuhi konten dakwah, namun tak sedikit pula yang memuat ujaran kebencian. Perbedaan mazhab atau pandangan teologis yang seharusnya menjadi ruang dialog justru menjadi ajang pertarungan simbol dan klaim kebenaran.

Dalam hal ini, Hyangsewu dkk. (2022) menyebut pentingnya teologi inklusif dalam merespons konflik digital. Teologi semacam ini menghargai keragaman cara berpikir, tidak menyamaratakan semua orang dalam satu tafsir, dan mengajak untuk saling belajar, bukan saling menyudutkan.

Al-Qur’an sendiri memberikan landasan kuat dalam hal ini:

“Dan jika Tuhanmu menghendaki, tentulah beriman semua orang di bumi seluruhnya. Tetapi apakah kamu (hendak) memaksa manusia agar mereka menjadi orang-orang yang beriman?” (QS Yunus: 99)

Ayat ini menegaskan prinsip ta’addudiyah (pluralitas), bahwa perbedaan adalah bagian dari kehendak Tuhan. Maka, menyikapi dunia digital yang plural seharusnya dilakukan dengan wawasan yang luas, bukan kacamata kuda.

Self Control dan Etika Siber: Jihad Baru Muslim Digital

Dunia digital adalah dunia tanpa batas. Namun kebebasan tanpa kontrol hanya akan melahirkan kehancuran. Dalam hal ini, jihad hari ini bukan lagi sekadar angkat senjata, tapi mengendalikan diri dalam bersikap, bertutur, dan mengonsumsi informasi.

Sebagaimana dijelaskan Azzahra dkk. (2022), self control atau kontrol diri adalah pilar utama etika digital. Pengguna internet yang mampu mengontrol dirinya akan menjadi agen perdamaian digital, bukan provokator. Ia tidak mudah tersulut emosi, tidak sembarang berkomentar, dan berpikir kritis sebelum membagikan sesuatu.

Dalam QS Al-Hujurat: 6, Allah mengingatkan:

“Wahai orang-orang yang beriman, jika datang kepada kalian orang fasik membawa berita, maka periksalah dengan teliti…”

Ayat ini sejatinya adalah fondasi dari digital literacy dalam Al-Qur’an. Umat Islam dituntut untuk tidak langsung percaya, apalagi menyebarkan informasi yang belum jelas kebenarannya.

Kontekstualisasi Agama di Era AI

Satu hal yang patut digarisbawahi adalah bahwa Islam tidak pernah alergi terhadap teknologi. Namun seperti disampaikan Fazlur Rahman dalam Islam and Modernity (1982), agama harus terus dikontekstualisasikan agar relevan dan hidup dalam masyarakat. Konsep double movement yang ia tawarkan—yaitu kembali pada konteks historis ayat lalu menarik prinsip universalnya untuk diterapkan dalam konteks kekinian—perlu dihidupkan kembali dalam dunia digital.

Ketika Islam bertemu dengan AI, maka tantangan kita bukan bagaimana menolak teknologi, tetapi bagaimana memastikan bahwa teknologi tidak melanggar nilai-nilai dasar Islam. Kita membutuhkan cyber mujtahid—bukan hanya ahli fiqih, tetapi juga paham logika teknologi, sadar akan etika digital, dan punya komitmen spiritual yang kuat.

Penutup: Menuju Islam yang Mengalir dan Menyejukkan

Dalam dunia digital yang bising, Islam perlu menjadi air yang menyejukkan, bukan api yang membakar. Sebagaimana ditulis Joko Pinurbo dalam puisinya:

“Agamaku adalah air yang menghapus pertanyaanmu.”

Metafora ini sangat dalam: bahwa agama seharusnya menjadi penjernih, bukan pembingung. Menjadi jawaban, bukan sumber kebingungan baru. Dan air, dalam sifatnya yang lembut tapi kuat, seharusnya menjadi cermin dari laku keberagamaan kita di ruang digital: menyesuaikan, namun tetap menjaga substansi.

Revolusi Industri 5.0 tidak bisa dihindari. AI, big data, hingga metaverse bukan lagi masa depan, tapi masa kini. Namun jangan sampai dalam kecanggihan ini, kita kehilangan arah spiritual. Islam tidak menolak kemajuan. Islam hanya menolak kesombongan, ketidaktahuan, dan kebencian.

Maka, mari kita rawat Islam sebagai agama yang ramah terhadap perubahan, tetapi tetap kukuh pada nilai. Sebab pada akhirnya, bukan siapa yang paling canggih yang menang, tapi siapa yang paling bijak dalam menjalaninya.

Daftar Pustaka

  • Budianto, dkk. (2021). “Perspektif Islam Terhadap Ilmu Pengetahuan dan Teknologi.” Islamika: Jurnal Ilmu-Ilmu Keislaman, Vol. 21, No. 1.
  • Rahardja, U. (2022). “Masalah Etis dalam Penerapan Sistem Kecerdasan Buatan.” Technomedia Journal, Vol. 7, No. 2.
  • Hefni, W. (2020). “Moderasi Beragama dalam Ruang Digital.” Jurnal Bimas Islam, Vol. 13, No. 1.
  • Hyangsewu, dkk. (2022). “Teologi Inklusif sebagai Resolusi Konflik Agama di Era Digital.” Zawiyah, Vol. 8, No. 1.
  • Azzahra, dkk. (2022). “Kontrol Diri dalam Media Sosial Ditinjau dari Etika Digital.” Jurnal Spirits, Vol. 12, No. 2.
  • Rahman, F. (1982). Islam and Modernity: Transformation of an Intellectual Tradition. Chicago: University of Chicago Press.
  • McKinsey Global Institute. (2023). “The State of AI Adoption in Global Industry.” www.mckinsey.com
Advertisements

Respon (2)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Index