Urupedia – Al Hikmah Lil Muttaqin adalah sebuah pesantren ternama di salah satu kotaku yang diasuh oleh Kiai Shohib. Beliau merupakan sosok yang sangat disegani di pesantren. Para santri menjadi alim allamah ilmu agama maupun ukhrawi berkat pengajarannya.
Beliau memiliki istri bernama Nyai Lina. Nyai Lina selalu sabar menghadapi para santri putri untuk membimbing dalam menghafalkan kitab suci. Gus Fahrul, putra Kiai Shohib yang sekarang menempuh pendidikan di Al Azhar Mesir. Beliau merupakan salah satu motivator seluruh santri. Beliau memiliki raut muka yang tampan dan sikap yang bijaksana dalam mengambil keputusan, cerdas dan ramah kepada semua orang.
Enam tahun sudah aku berada di tempat ini. Yah, aku berada di pesantren ini mulai duduk di kelas 7 sampai kelas 12. Orangtuaku berencana memindahkanku ke pesantren yang berada di Provinsi Sumatra. Sedangkan aku sudah nyaman di pesantren yang sekarang. Ujian Nasional telah usai, Santi memanggilku bersamaan pula Bu Nyai memanggil. Beliau memanggilku untuk pergi ke ndalem sekarang. Aku pun segera bergegas menuju ndalem.
“Nduk, Sasa. Samean wes ate lulus saiki. Rencana e ate boyong opo ngabdi mariki?” (Nak, Sasa. Kamu sudah mau lulus. Rencananya mau keluar dari pondok atau mau lanjut?)
Kalimat yang dilontarkan Bu Nyai kepadaku. “Pangapunten Nyai, jujur kulo tasik pingin ngabdi ten mriki, tapi tirose tiang sepah kulo. Kulo dikengken pindah ten pondok wonten Sumatra.” (Sebelumnya mohon maaf Ibu Nyai, jujur saya masih ingin mengabdi di pondok, tapi rencana orang tua saya. Saya disuruh pindah pondok yang ada di Sumatra,” ucapku sambil merunduk.
“Oalah yowes, samean omongi wong tuo e samean, lek pingin tetep ngabdi ndek pondok kene. Tapi keputusane wong tuo e samean tetep harus samean trimo.” (Oo begitu, kamu bilang ke orang tuamu, kalau kamu masih mau mengabdi di pondok ini. Tapi apapun keputusan orang tua mu harus kamu terima),” ucap Bu Nyai sambil membaca kitab.
“Nggeh, Nyai,” ucapku dengan lemah lembut.
Mobil hitam telah datang dari kejauhan. Mobil tersebut menuju lobi pesantren. Ada tangan anak kecil berlambaian di kaca samping kiri. “Kakak Sasa” panggil anak kecil turun dari mobilnya. Sembari aku langsung bergegas menghampiri anak kecil dan kedua orangtuanya. Ya, abah dan umiku datang ke pesantren hari ini. Mereka datang ke pesantren hanya sebulan sekali.
“Gimana kabarnya nak?” ucap abah sambil menyentuh lenganku.
“Alhamdulillah baik, Bah. Abah dan Umi gimana kabarnya?” ucapku dengan penuh senyuman.
“Alhamdulillah, sehat semua nak.”
“Abah, Umi, Sasa mau bilang sesuatu. Kemarin Sasa dipanggil ke ndalem sama Bu Nyai perihal mau lanjut atau keluar dari pesantren. Lalu Sasa jawab, Sasa masih tetep lanjut mengabdi di pesantren tapi rencana orangtua, saya disuruh pindah pesantren. Bagaimana keputusan finalnya, Bah, Umi?” ucapku sambil pasrah.
“Loh gini lo Sasa, abah umi cuma menawarkan untuk pindah pesantren tidak menyuruh kamu pindah pesantren. Sekarang abah dan umi ikut kamu. Kamu mau pindah pesantren atau masih tetap disini?” kata abah dengan senyum.
“Oo jadi Cuma menawarkan bah, tidak menyuruh ya. Kalau begitu Sasa tetap ngelanjutin di Alhikmah saja bah.”
“Ya sudah kalau mau tetap di sini,” kata abah dengan mengelus kepalaku.
Satu jam telah berlalu, abah dan umiku berpamitan untuk bergegas pulang. Akhirnya mobil hitamku melewati gerbang pesantren dan perlahan-lahan hilang.
Sembari keluar dari lobi, aku bergegas ke kamar untuk mengikuti kegiatan. Berhubung hari Minggu, jadi kegiatan mengaji sore ini menjadi satu di aula pesantren, baik santri putra maupun putri
”Assalamualaikum wr.wb. Baik, untuk sore ini kita membahas tentang bab thaharah (bersuci).”
Dua puluh menit pengajian dimulai, pengurus pondok menghampiri Kyai dengan membawa handpone. “Apakah benar ini adalah pondok pesantren saudari Sasa Laraswati?” ucap suara dari telefon.
“Ya benar mbak. Saya pengasuh pondok pesantren Sasa Laraswati. Apakah ada yang ingin saya bantu?” kata Abah Kiai berbicara dalam handphone hitam itu.
“Jadi begini Kiai, orang tua dari saudari Sasa Laraswati kecelakan beruntut. Sekarang kondisi mereka kritis di Rumah Sakit Brawijaya.”
“Baik mbak, terima kasih atas informasinya,” kata Kiai.
Pada saat pengajian berlangsung Kiai mengutus pengurus pesantren untuk mengantarkanku pergi ke rumah sakit Brawijaya.
“Ayo Sasa, kita berangkat sekarang!” ucap pengurus.
Di sepanjang jalan aku tak henti menangis dan membaca salawat guna tidak ada apa-apa yang terjadi kepada orangtuaku. Sesampainya di rumah sakit, kami masuk ke ruang UGD dan melihat mereka sedang kritis.
“Abah, Umi, ini Sasa. Abah kuat kan? Umi kuat kan?” ucapku sambil menangis dan mencium mereka.
“Saaa ssaaa sakit. Abah cuma mau berpesan, jangan sampai berhenti untuk tholabul ilmi, Nak..” ucap abah dengan sesak.
“Abah.. Abah.. Abah pasti sembuhkan??” kataku dengan tak henti untuk menngis. “Adek, silahkan keluar dulu ini dokternya sudah datang, mohon tunggu diluar saja,” kata suster sambil membawa peralatannya.
Enam puluh lima menit telah berlalu. Orang berbaju putih dan gadis pelayan yang membawa peralatan keluar dari ruang UGD.
“Apakah anda keluarga dari Bapak Santoso?” ucapnya kepada pengurus pondok.
“Ya, bagaimana keadaan beliau, dok?”
“Bagaimana keadaan orangtua saya, dok? Baik-baik saja kan? Jawab, dok!” teriakku.
“Mohon maaf kami sudah berusaha semaksimal mungkin. Kecelakaan yang dialami oleh abah anda cukup parah, sehingga nyawa beliau tidak dapat terselamatkan, saya turut berduka cita sedalam-dalamnya. Kalau begitu saya pamit dulu.”
Lalu aku masuk ke ruang UGD dan melihat Abah, Umi dan adikku sudah berbaring tak berdaya sambil tersenyum. Di situ aku tak percaya dengan keaadanku, secepat itukah orang-orang terpentingku pergi dengan sekejap mata. Aku hanya bisa pasrah, pasrah dan pasrah.
Tujuh hari kematian keluargaku telah berlalu.
“Sasa, turut berduka cita sedalam- dalamnya. Berhubung sudah tujuh hari atas kepergian keluargamu. Bagaimana kalau kamu saya angkat menjadi abdi ndalem (ikut keluarga Kiai) berhubung kamu juga kurang satu jus lagi dengan hafalanmu. Kamu bisa bantu Nyai untuk membimbing santri-santri lainya?” ucap Bu Nyai Lina dengan menatapku.
“Baik Nyai, saya di rumah juga sendiri, dan amanah dari abah saya untuk jangan sampai berhenti menuntut ilmu dan mengamalkanya.”
“Nak Fahrul, tolong kamu pantau pondok putri. Ibu kamu lagi kurang sehat, tolong simak hafalan para santri sama ustadzah Sasa,” ucap kyai kepada putranya.
”Baik, Bah.”
Sudah tiga bulan yang lalu Gus Fahrul sudah menyelesaikan studinya di Mesir. Kini Gus Fahrul sering menggantikan abah yai ketika Abah Kiai berhalangan ketika mengisi pengajian.
“Saya balik dulu,” sahut Gus Fahrul sesudah menyimak hafalan santri putri.
“Baik gus, terima kasih,” sahutku. Sering sekali gus Fahrul menggantikan Bu Nyai karena memang keadaan Bu Nyai sedang tidak sehat.
“Ustazah Lisa apa nggak pulang. Ini sedang liburan loh, Us?” sahut Gus Fahrul ketika mengantar Bu Nyai berobat ke rumah sakit.
“Tidak gus, saya tidak pulang,” sahutku dengan tersenyum.
Mobil pesantren yang dikendarai oleh Kiai, Nyai dan Gus Fahrul telah sampai sembari mengantarkan Bu Nyai dari rumah sakit.
“Nduk Sasa, berhubung Nyai sudah sakit-sakit an dan umur hanya Allah yang tau. Maukah kamu menjadi menantuku dan menggantikanku untuk memperjuangkan pesantren ini?” ucap Bu Nyai sambil berbaring di kasurnya.
Aku tidak habis pikir dengan perkataan Bu Nyai. Aku yang seorang santri biasa dan tidak tau untuk menjawabnya. “Sasa, nduk Sasa. Yah.. kamu mau kan menggantikan Nyai dan menjadi menantu Nyai?” sahut Nyai lagi.
Dengan pasrah aku menjawab “Sayyy yya nurut saja, Nyai. Tapi saya tidak bisa apa-apa Nyai” sahutku.
“Aku sudah tau sifatmu mulai dulu, dan menurut Nyai kamu lah yang pantas untuk menjadi menantuku.” Ucap Nyai kembali.
“Qobiltu nikahaha wa tazwijaha bil mahril madzkur haalan.” Kata yang keluar dari Mas Fahrul. Aku tidak percaya sampai ada di posisi seperti ini, menjadi istri Gus Fahrul dan menjadi keluarga pesantren. Dengan ilmu yang aku miliki, sebisa mungkin, aku akan mengamalkan kepada yang lain dan berusaha menjadi istri yang salehah bagi Mas Fahrul.
Penulis: Muhammad Izzul Haq (Dusun Trunajaya RT.19 RW. 05 Krebet Senggrong Bululawang Malang, 085764136517)
Editor: Ummi Ulfa