OpiniPendidikan

Sekolah Tanpa Jiwa, Ketika Guru Tidak Lagi Menjadi Pendidik

×

Sekolah Tanpa Jiwa, Ketika Guru Tidak Lagi Menjadi Pendidik

Sebarkan artikel ini
https://wisata.viva.co.id/pendidikan/13580-mengapa-aristoteles-dianggap-guru-pertama-oleh-para-filsuf-muslim-simak-sejarahnya

Urupedia.id- Fenomena meningkatnya kenakalan remaja, perundungan, dan kekerasan seksual di sekolah bukan sekadar isu moral anak, melainkan cermin dari krisis yang lebih dalam, kegagalan pendidikan dalam membentuk manusia berpikir dan berperasaan.

Data Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) tahun 2023 menunjukkan lebih dari dua ribu kasus kekerasan terjadi di lingkungan pendidikan, mulai dari perundungan hingga kekerasan berbasis gender.

Kementerian Pendidikan pun menyoroti bahwa kekerasan di sekolah kini menjadi ancaman serius bagi keselamatan psikologis peserta didik.

Fakta ini menggugat peran guru, bukan hanya sebagai pengajar, tetapi sebagai pendidik yang seharusnya berjiwa ilmuwan dan berpikir layaknya filsuf.

Di banyak sekolah, guru lebih berperan sebagai instruktur kurikulum daripada pembimbing pemikiran.

Paulo Freire menyebut fenomena ini sebagai banking education—pendidikan yang memperlakukan murid sebagai wadah kosong untuk diisi informasi tanpa kesempatan untuk berpikir kritis.

Akibatnya, guru lebih sibuk mengejar target administrasi dan nilai, sementara dimensi moral dan kemanusiaan terabaikan.

John Dewey, filsuf pendidikan dari Amerika Serikat, pernah menegaskan bahwa guru sejati adalah ilmuwan sosial yang terus bereksperimen dengan pengalaman belajar agar murid mampu hidup demokratis dan reflektif.

Ketika guru berhenti berefleksi dan hanya menjalankan perintah kurikulum, pendidikan kehilangan unsur keilmuan yang sejati.

Lebih jauh, guru masa kini kerap terjebak dalam sistem yang menekan aspek reflektif.

Nietzsche dalam Human, All Too Human menilai pendidikan modern cenderung melahirkan “manusia patuh, bukan manusia berpikir.”

Ia mengingatkan bahwa sekolah yang hanya mendidik untuk taat tanpa memberi ruang berpikir justru menumpulkan kesadaran moral.

Dalam konteks ini, banyak guru bekerja seperti aparat administratif yang menegakkan aturan, bukan pendidik yang menyalakan api kesadaran.

Hilangnya etos filsuf—yakni keberanian untuk bertanya tentang makna hidup dan nilai kemanusiaan—membuat pendidikan kehilangan arah spiritualnya.

Sementara itu, sikap ilmiah dalam dunia pendidikan juga tampak semakin redup.

Seorang ilmuwan sejati memiliki semangat untuk mempertanyakan, menguji, dan memperbaiki diri.

Namun banyak lembaga pendidikan guru di Indonesia lebih menekankan keterampilan teknis seperti metode ajar dan asesmen daripada pemahaman epistemologis tentang hakikat pengetahuan.

Laporan UNESCO Global Education Monitoring Report tahun 2023 menunjukkan bahwa lebih dari 70 persen guru di Asia Tenggara tidak pernah mendapatkan pelatihan dalam critical pedagogy atau filsafat pendidikan.

Akibatnya, banyak guru kesulitan menangani persoalan sosial seperti kekerasan, bullying, atau krisis moral karena mereka tidak dilatih berpikir reflektif dan humanis.

Konsekuensinya sangat jelas, pendidikan kehilangan jiwanya.

Sekolah yang seharusnya menjadi tempat pembentukan manusia merdeka justru berubah menjadi ruang reproduksi perilaku mekanis.

Kita melihat murid yang cerdas secara akademik namun miskin empati; guru yang terampil secara administratif tetapi gagal menjadi teladan moral.

Michel Foucault dalam Discipline and Punish menggambarkan sekolah modern sebagai institusi pengawasan, tempat tubuh dan perilaku diatur melalui sistem disiplin halus.

Ketika guru menjalankan peran pengawas, bukan pembimbing, sekolah kehilangan fungsi utamanya sebagai ruang pembebasan.

Kekerasan dan perundungan yang marak terjadi merupakan gejala dari relasi kekuasaan yang tidak sehat antara guru, murid, dan institusi.

Relasi pendidikan yang seharusnya berlandaskan cinta kasih dan dialog berubah menjadi relasi otoritas.

Paulo Freire mengingatkan bahwa pendidikan sejati adalah tindakan kebebasan, bukan penjinakan.

Namun dalam praktiknya, banyak sekolah menanamkan ketakutan, bukan keberanian berpikir.

Anak didik belajar untuk mematuhi, bukan memahami; menghindari hukuman, bukan mencari kebenaran.

Filsafat pendidikan menempatkan guru sebagai penjaga nilai dan penuntun kesadaran.

Dalam tradisi Indonesia, Ki Hadjar Dewantara menyebut guru sebagai pamomong—pendamping jiwa anak agar tumbuh merdeka dan beradab.

Akan tetapi, tekanan sistemik membuat banyak guru lebih sibuk dengan laporan daring, akreditasi, dan asesmen nasional dibanding membimbing nurani anak.

Mereka diajarkan bagaimana mengajar, tetapi tidak lagi diajak bertanya mengapa mengajar.

Inilah sebabnya mengapa pendidikan kita bisa melahirkan generasi pandai, tetapi tidak selalu berperikemanusiaan.

Pendidikan tanpa filsafat kehilangan arah, dan pendidikan tanpa semangat ilmiah kehilangan dasar kebenaran.

Ketika guru tidak lagi berperan sebagai filsuf yang mencari makna atau ilmuwan yang mencari kebenaran, sekolah kehilangan dua sayap utamanya yakni refleksi dan rasionalitas.

Sekolah mungkin masih berjalan, kurikulum masih diajarkan, ujian masih diselenggarakan, tetapi nilai kemanusiaan perlahan mati.

Oleh karena itu, meningkatnya kenakalan remaja, bullying, dan kekerasan seksual di sekolah bukan semata tanggung jawab siswa atau keluarga, melainkan cermin dari hilangnya guru sebagai sosok pemikir dan peneliti dalam arti sejati.

Guru yang berhenti bertanya tentang manusia akan gagal mendidik manusia.

Ketika pendidikan berhenti bertanya, ia berhenti menjadi pendidikan—dan berubah menjadi sekadar ritual sosial tanpa jiwa.

Oleh: Krisna Wahyu Yanuar, Aktivis Literasi, Penulis Buku Fly Away With My Faith, Jurnalis Urupedia.

Referensi

Advertisements