Esai

Berfilsafat ala Sartre dan Satru

×

Berfilsafat ala Sartre dan Satru

Sebarkan artikel ini

Urupedia Satru hubungan mung salah pahammu,
Sampean kudu ngerteni, aku cemburu
– Denny Caknan, Satru (2021)

Mungkin lirik ini familiar di telinga para penggemar musik pop-dangdut yang akhir-akhir ini menyihir para remaja milenial. Caknan, sosok yang digadang-gadang menjadi next Didi Kempot itu menaruh imajinasi dan kreatifitasnya dalam lirik-lirik musik yang candu, adiktif dan relevan bagi sein geist (semangat zaman) di mana ia hidup.

Lagu-lagu yang diciptakannya tak pernah lepas dari tema besar eksistensialisme; semisal asmara, masa depan, sikap hidup, realitas sosial dan lain sebagainya. Tema-tema ini tak mungkin hanya lahir dari imajinasi belaka, melainkan digali dari pembacaan atau observasi realitas yang tekun. Ambillah contoh dalam Satru 2 yang kemarin baru rilis (2022), liriknya tertulis:

Jajal rasah percoyo nek trimo kabar ko njobo Aku kerjo, nguripimu nggo makmurne atimu

Mungkin jika hanya diamati dalam ruang kendali teks yang normatif, tak ada yang menarik, tetapi jika dianalisis dalam perspektif eksistensialisme, ditemukan suatu makna yang mengagumkan.

Eksistensialisme merupakan gerakan pencerahan di era pra-perang dunia dan pasca-perang dunia, definisi ini saya ambil dari F. Budi Hardiman. Sekalipun eksistensialisme telah berkembang sejak Soren Kriekergard, Friedrich Nietzsche pada dekade sebelumnya, puncak kematangannya diraih saat terbentuknya Eropa kontemporer, khususnya di Prancis oleh para pemikir kawakan sekelas Martin Heidegger, Jean-Paul Sartre, Maurice Merleau-Ponty, Simon de Beauvoir dan lain sebagainya. Tulisan ini, akan memilih Sartre sebagai pengendali wacananya.

Sartre memulai filsafatnya dari kenyataan pahit bahwa bukan dari dalih: aku berpikir, maka aku ada. Melainkan dari dalil: aku ada, maka aku berpikir. Faktanya, alih-alih membunuh esensialisme; semacam agama, kebudayaan, ideologi, negara dan apapun yang terlabeli kepada manusia. Sartre melakukan aktivitas camera obscura (pembalikan perspektif), bahwa yang wujud, yang sein (ada), being (ada), exist (hadir) hanya dimiliki oleh dasein (yakni manusia itu sendiri). Maka dari itu, manusialah poros kebenaran, urgensinya filsafat sejauh ini adalah kembali kepada manusia itu sendiri. Kembali kepada wujudnya sendiri, ucapnya: “jika kamu memilih, kamu memilih untuk seluruh umat manusia”

Pondasi self-sentris atau human-sentris ini sering dikritik sebagai puncak logos-nya Descartes, atau wabah subjektivisme akut. Walaupun demikian, Sarte hadir sebagai penolong manusia-manusia rapuh yang telah dibantai, dikebiri dan dalam bahasanya Caknan, di-ambyar-kan oleh realitas maupun esensialisme yang mau tidak mau dipaksakan terlabeli kepada diri manusia itu. Aporismanya yang terkenal: “aku harus melampaui orang lain, atau mereka akan melampauiku”

Uniknya, Sartre juga tak tumpul pada narasi ontologi basi yang hanya berbicara soal yang ada, dengan menundukkan manusia sebagai subjek yang berpikir, tema eksistensialisme diarahkan kepada pembacaan relasional atas keberadaan liyan (others). Di titik ini dilemanya, Sartre acapkali tak konsisten membangun eksistensialisme yang sosialis. Sering terjadi kontradiksi internal dalam pemikirannya. Namun, sederhananya kita bisa melihat bahwa inti dari pemikiran Sarte terpaku pada ke-aku-an yang humanistis, yang penuh empati dan sadar akan hajat hidup manusia secara umum.

Apalagi perkara hubungan asmara, semenjak Sartre memutuskan untuk berhubungan dan mengakad janji resiprokal (hubungan paling eksistensialis) dengan Simon de Beauvoir, mereka membangun suatu prinsip romantisme eksistensialis, bahwa: kesederajatan, ketersalingan, kemakmuran bersama, kehendak bersama dan keadilan subjketif bersama harus dibangun di atas kebebasan. Kebebasan dalam berpendapat, bertindak dan saling mencintai. Itu kuncinya.

Nah kembali ke Caknan, di lirik yang Satru 2 tadi. Dapat dijumpai suatu makna anti-mainstream bahwa, dalam konteks eksitensialisme, sebenarnya ada satu tindakan “meniadakan” (nothingness) atas ucapan-ucapan liyan (others), terbukti “Jajal rasah percoyo nek trimo kabar ko njobo…“. Visi menyadarkan bahwa seperti yang dikatakan Sartre, seringkali “Hell is others” (orang lain adalah neraka/jahanam).

Sartre ingin menginsyafkan bahwa dialog antar pasangan, kebebasan bertukar cerita atau pendapat dan keterbukaan atas diri adalah pokok pondasi percintaan. Jangan menutup-nutupi apapun, sesekali kita harus berpura-pura tuli atas ucapan orang terhadap kita, biarkan saja. Mereka berhak berpendapat atas kebebasan yang mereka memiliki. Tetapi kembali lagi, orang lain tidak pernah benar-benar mengenal kita, mereka hanya terjebak pada citraan kita atas agama, budaya, ideologi atau bahkan passion eksternal belaka.

Lirik selanjutnya “Aku kerjo, nguripimu nggo makmurne atimu…”. Jika tadi Sartre melakukan refleksi “meniadakan”. Di lirik ini, eksistensialisme membangun kemantapan atas verifikasi kita kepadan liyan, atau pasangan. Yang kita tau, tujuan dari semua itu adalah tetap tentang kebebasan.

Aku menyadari dan sadar akan kelakuanku, aku bekerja, demi apa? Membangun pondasi kebebasan atas kemiskinan, ekonomi atau mungkin tentang cara mengamankan kehendak manusia untuk berekspresi. Tanpa ada topangan ekonomi yang kokoh, tak ada “ati makmur” (hati yang makmur), tak bisa menghidupi dan lain sebagainya. Sederhananya, tindakan verifikasi ini menjelaskan niat dan alasan.

Analisis lirik memang belum dituntaskan sampai utuh, tapi tulisan ini sudah perlu dicukupkan. Antara Sartre dan Satru memiliki keterkaitan langsung. Entah, saya melihat, dari awal kata Satru itu sendiri, yang bisa diartikan “pertengkaran, permasalahan hubungan manusia atau kontradiksi relasi” sudah sangat memperlihatkan visi eksistensialisme. Yang penting, jangan membenarkan argumen saya bahwa kata Satru diambil dari bahasa Inggris Sad-true, yang bisa berarti “kesedihan yang nyata”

Penulis: Kowim Sabilillah

Editor : Ummi Ulfatus Sy